Wilayah dapat dilihat sebagai suatu ruang pada
permukaan bumi. Pengertian permukaan bumi adalah menunjuk pada tempat/lokasi
yang dilihat secara horizontal dan vertikal. Di dalamnya termasuk apa
yang ada pada, di atas dan di bawah permukaan bumi. Karena yang dibicarakan
ruang dalam kaitannya dengan kepentingan manusia, perlu dibatasi bahwa
ruang pada permukaan bumi itu adalah sejauh manusia bisa menjangkau atau
masih berguna bagi manusia (ditinjau dari pandangan anthropocentris).
Menurut Glasson (1974) dalam Tarigan, R. (2009) terdapat 2 (dua) cara
pandang tentang wilayah yaitu pandangan subyektif dan pandangan
obyektif. Cara pandang subyektif, yaitu wilayah adalah alat untuk
mengidentifikasi suatu lokasi yang didasarkan atas kriteria
tertentu/tujuan tertentu. Dengan demikian banyaknya wilayah tergantung
pada kriteria yang digunakan. Wilayah hanyalah suatu model agar bisa
dibedakan satu lokasi dengan lokasi yang lainnya.
Hal ini diperlukan untuk membantu manusia
mempelajari dunia ini secara sistematis. Sedangkan pandangan obyektif
menyatakan bahwa wilayah itu benar-benar ada dan dapat dibedakan dari
ciri/gejala alam di setiap wilayah (misalnya dari unsur
musim/temperatur, topografi, jenis tumbuhan, kepadatan penduduk, dan
sebagainya atau gabungan dari unsur/ciri tersebut). Menggunakan
pandangan obyektif membuat jenis analisis atas ruang menjadi terbatas.
Dalam rangka kepentingan studi maka pandangan
subyektif lebih sering digunakan karena dapat disesuaikan dengan tujuan
studi itu sendiri. Pandangan obyektif melihat ruang itu sebagai sesuatu
yang nyata/konkret, yang jelas batas-batasnya. Akan tetapi hal ini tidak
menyatakan bahwa pandangan subyektif berarti ruang itu khayal. Pandangan
subyektif menyatakan bahwa pengelompokkan ruang didasarkan atas kriteria
yang digunakan. Memang batas ruang wilayah di lapangan seringkali bukan
kasat mata, akan tetapi dengan melakukan pengamatan seksama,
perhitungan, dan bantuan peralatan tertentu kita masih bisa menyatakan
sesuatu lokasi itu masuk ke dalam wilayah mana dari pengelompokkan yang
sudah dibuat. Setidaknya batas tersebut dapat digambarkan dalam peta.
Menurut Hanafiah (1982) unsur-unsur ruang yang terpenting adalah: jarak,
lokasi, bentuk, dan ukuran/skala. Artinya pada setiap wilayah harus
memiliki keempat unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama
membentuk/menyusun suatu unit ruang yang disebut wilayah yang dapat
dibedakan dari wilayah lainnya.
Glasson (1974) menyatakan bahwa wilayah dapat
dibedakan berdasarkan kondisinya atau berdasarkan fungsinya. Berdasar
kondisinya, wilayah dapat dikelompokkan atas keseragaman isi (homogenity),
misalnya: wilayah perkebunan, wilayah peternakan, wilayah industri, dan sebagainya,
sedangkan berdasarkan fungsinya suatu wilayah dapat dibedakan misalnya kota dengan
wilayah di belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan
orde perkotaan, jenjang/hierarkhi jalur transportasi, dan sebagainya. Hartshorn
(1988) menggunakan istilah uniform dan nodal dengan pengertian
yang sama untuk kondisi dan fungsi dari Glasson.
Menurut Haggett (1977), terdapat 3 (tiga)
jenis wilayah yaitu: homogeneous regions, nodal regions, dan
planning/ programming regions. Sedangkan Adisasmita, H.R. (2005)
dengan mengacu pada logika Aristoteles (yaitu dari segi tinjauan
material, hubungan formal, dan tujuan akhirnya) membedakan wilayah
menjadi 4 (empat), yaitu: wilayah homogen (homogeneous region),
wilayah polarisasi (polarization region) atau wilayah nodal (nodal
region), dan wilayah perencanaan (planning region) atau
wilayah program (programming region).
Wilayah homogen diartikan sebagai suatu konsep yang
menganggap bahwa wilayah-wilayah geografis dapat dikaitkan bersama-sama
menjadi sebuah wilayah tunggal, apabila wilayah-wilayah tersebut mempunyai
karakteristik yang serupa. Ciri-ciri atau karakteristik tersebut dapat
bersifat ekonomi (misalnya struktur produksinya hampir sama, atau pola
konsumsinya homogen), bersifat geografis (misalnya keadaan topografi
atau iklim yang serupa), dan bahkan dapat pula bersifat sosial/politis
(misalnya kepribadian masyarakat yang khas sehingga mudah dibedakan
dengan karakteristik wilayah-wilayah lainnya).
Wilayah-wilayah nodal/pusat atau wilayah-wilayah
polarisasi/ berkutub terdiri dari satuan-satuan wilayah yang heterogen.
Misalnya distribusi penduduk yang terkonsentrasi pada tempat-tempat
tertentu akan mengakibatkan lahirnya kota-kota besar, kotamadya, dan
kotakota kecil lainnya, sedangkan penduduk di daerah-daerah perdesaan
relatif jarang. Sedangkan wilayah perencanaan atau wilayah program sangat
penting artinya apabila dikaitkan dengan masalah-masalah kebijaksanaan
wilayah. Pada tingkat nasional atau wilayah, tata ruang perencanaan oleh
penguasa nasional, wilayah difungsikan sebagai alat untuk mencapai
sasaran pembangunan yang telah ditetapkan.
Pembagian wilayah perencanaan disusun berdasarkan
pada analisis kegiatan pembangunan sektoral yang terlokalisasi pada
satuan lingkungan geografis. Wilayah perencanaan merupakan suatu wilayah
pengembangan, dimana program-program pembangunan dilaksanakan. Dalam
hal ini penting untuk diperhatikan adalah persoalan koordinasi dan
desentralisasi sehingga pembangunan wilayah dapat ditingkatkan dan
dikembangkan. Misalnya dalam pembangunan nasional Indonesia, pengambil
keputusan untuk program-program pembangunan tertentu dilakukan di
Jakarta, akan tetapi dapat saja pelaksanaannya dilakukan di daerah atau
pusat-pusat pembangunan di luar Jakarta (Adisasmita, H.R., 2005).
Menurut Hanafiah (1982), wilayah dapat pula
dibedakan atas konsep absolut dan konsep relatif. Konsep absolut
didasarkan pada keadaan fisik, sedangkan konsep relatif selain
memperhatikan factor fisik juga sekaligus memperhatikan fungsi
sosial-ekonomi dari ruang tersebut. Beberapa definisi ruang secara
absolut (Tarigan, R., 2009):
1.
Wilayah adalah sebutan untuk lingkungan
permukiman bumi yang tentu batasnya (Purnomo Sidi, 1981);
2.
Sesuatu ruang di permukaan bumi
mempunyai lokasi yang tetap dan tepat, jarak terdekat antara dua titik adalah
garis lurus (Immanuel Kant dalam Hanafiah (1982);
3.
Wilayah adalah suatu area dengan lokasi
spesifik dan dalam aspek tertentu berbeda dengan area lain (jadi berupa mosaik)
(Hartshorn dalam Hanafiah (1982).
Konsep ruang secara
relatif, selain keadaan fisik juga diperhatikan aspek sosial-ekonomi, misalnya:
jarak diukur secara fungsional berdasarkan unit waktu, ongkos, dan usaha. Unsur
persepsi manusia atas dunia nyata (real world) sudah dimasukkan. Konsep
ruang yang digunakan tergantung pada masalah yang dibahas. Permasalahan sosial dan
ekonomi umumnya menggunakan konsep ruang relatif, sedangkan dalam perencanaan
fisik (terutama untuk ruang sempit) umumnya menggunakan konsep ruang absolut
(Tarigan, R., 2009).
Sumber:
Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta S.Si, MT dkk, 2011)
Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta S.Si, MT dkk, 2011)