Dalam kaitannya dengan persebaran penduduk dengan
tumbuhnya perumahan dan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan yang
relatif datar akan membentuk pola-pola tersendiri yang secara keseluruhan
dipengaruhi oleh posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya (Branch
dalam Yoelianto, 2005). Hal ini mencerminkan bahwa kondisi topografi yang
relatif datar di wilayah penelitian merupakan modal dasar dari pertumbuhan
perumahan dan permukiman.
Selanjutnya hal-hal yang harus diperhatikan dalam
perkembangan perumahan adalah pewilayahan (zoning); utilitas (utilities);
faktor-faktor teknis (technical factors); lokasi (locations);
estetika (aesthetics); komunitas (community); pelayanan kota (city
services); dan biaya (costs), (James C. Snyder; Anthony J. Catanese,
1985).
Secara umum, lingkungan perumahan dan permukiman
tidak terlepas dari dukungan ketersediaan prasarana dan sarana lingkungan.
Sistem prasarana dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas fisik atau
struktur-struktur dasar, peralatanperalatan, instalasi-instalasi yang dibangun
dan yang dibutuhkan untuk menunjang sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat
(Grigg, Neil, 1987). Menurut Undang-Undang Perumahan dan Permukiman Tahun 1992,
bahwa sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang berfungsi untuk
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Dalam
kaitan ini, criteria penentuan baku kelengkapan pendukung prasarana dan sarana
lingkungan dalam perencanaan kawasan perumahan kota sesuai dengan Keputusan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 378/KPTS/1987 menyebutkan bahwa untuk
menghasilkan suatu lingkungan perumahan yang fungsional sekurang-kurangnya bagi
masyarakat penghuni, harus terdiri dari kelompok rumah-rumah, prasarana
lingkungan dan sarana lingkungan. Dewasa ini, potensi pengembangan kota lebih
dipengaruhi oleh daya tarik kota akibat adanya akumulasi kegiatan usaha
perekonomian bidang industri dan jasa pelayanan. Perkembangan kota-kota besar
maupun kecil seringkali bertambah luas bersamaan kegiatan industri dan jasa
tersebut menjadikan kota sebagai pasar tenaga kerja yang memberikan keuntungan
aglomerasi dan menyebabkan tingkat produktifitas dan efisiensi yang tinggi (Richardson
dalam Malik, 2003). Pada sisi lain, kemampuan kota menyediakan prasarana dan
sarana sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat menjadi bagian penting untuk mempertahankan
momentum perkembangan kota. Oleh karenanya, kelangsungan dan kelestarian suatu
kota harus didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Undang-undang R.I Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang mengartikan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang
yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau
kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi,
sebaran permukiman, tempat kerja, industri dan pertanian, serta pola penggunaan
tanah perdesaan dan perkotaan. Salah satu tujuan dalam penataan ruang adalah
tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
a. Mewujudkan
kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
b. Mewujudkan
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia;
c. Meningkatkan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna,
berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
d. Mewujudkan
perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan;
e. Mewujudkan
keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Dalam perkembangan
perumahan ada 3 (tiga) faktor yang berpengaruh. Faktor-faktor tersebut antara
lain: (1) Kependudukan; (2) Pertanahan; (3) Pembiayaan dan Dana. (Peraturan
Perundang-undangan Departemen Pekerjaan Umum, 1994). Selama kebijaksanaan
tentang lokasi perumahan belum ditegakkan secara mapan. Maka perkembangan
lokasi perumahan, termasuk sarana dan prasarananya akan cenderung berjalan
masing-masing tanpa keterpaduan yang harmonis dengan elemen lainnya. Dengan
bermunculannya pengembang yang semakin banyak, telah mendorong perkembangan
lokasi-lokasi perumahan baru tumbuh secara acak.
Karyoedi, (dalam Malik,
2003), menguraikan bahwa kriteria untuk menilai kemampuan suatu kota dapat
dilihat dari perspektif potensi yang dimiliki. Letak geografis yang strategis
akan sangat mendukung percepatan pembangunan dibanding daerah belakangnya yang
terisolir. Di sisi lain, pengembangan kota sangat tergantung pada kemampuan
untuk menciptakan dan menarik sumber daya produktif dari luar yang
dibutuhkanoleh pasar. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan suatu kota,
yaitu :
a. Faktor
yang merupakan modal dasar,
yaitu lahan kota, sumber dana dan penduduk.
b. Faktor
penunjang yang merupakan fungsi
primer, yaitu kegiatan industri dan jasa komersil yang menjadi daya
tarik bagi tenaga kerja.
c. Faktor
penunjang yang merupakan fungsi
sekunder atau faktor pembentuk struktur internal kota berupa lingkungan
perumahan, fasilitas pelayanan umum, prasarana kota dan tenaga kerja.
Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan ruang, bab VI
Pelaksanaan Penataan Ruang telah mengatur mengenai Perencanaan Tata Ruang,
Pemanfaatan Ruang, Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Penataan Kawasan Perkotaan,
dan Penataan Kawasan Perdesaan. Hal ini mengartikan bahwa penggunaan lahan guna
Pengembangan pembanguanan perumahan Permukiman harus berpodoman pada
ketentuan-ketentuan Penataan ruang. Bahwa penggunaan lahan erat kaitannya
dengan kesesuaian lahan Kawasan dan berpengaruh langsung terhadap pengelolaan
lingkungan dan pengendaliannya. Sistem tata ruang pada dasarnya diciptakan
untuk Penataan lingkungan yang baik, serasi, seimbang serta berkesinambungan.
Menurut Siahaan (1992), bahwa instrument pengendalian dalam hukum lingkungan terdiri
dari:
a. Analisis
mengenai dampak lingkungan (Amdal);
b. Sistem
perizinan (lisencing); atau juga dengan
c. Sistem
pemeriksaan (auditing)