Bentuk kontroversi lain dalam geografi ialah yang
mempertanyakan geografi itu (dalam pengertian
terbatas pada geografi regional) dapat digolongkan
sebagai ilmu atau tidak manakala kriteria yang dipakai berdasarkan pandangan positivisme dalam ilmu. Pertanyaan
kontroversi ini timbul khususnya
setelah muncul ketidakpuasan para ahli geografi mutakhir terhadap kemampuan geografi regional untuk mengatasi permasalahan kehidupan yang makin
kompleks dan cepat berubah.
Perkembangan atau perubahan disiplin ilmu menyangkut
disatu pihak adanya ketidakpuasan
pada paradigma yang ada dan di pihak lain
timbulnya upaya penyediaan alternatif lain. Perubahan atau penggantian tidak selalu berjalan dengan lancar,
karena masing-masing paradigma memiliki
sejumlah pendukungnya. Hal yang demikian itu dapat menyangkut juga persoalan isi, metode atau sasaran utama studi
disiplin ilmu yang bersangkutan. Ada
kalanya dua paradigma yang saling bertentangan
(dalam arti tidak memuaskan bagi pihak yang lain) berjalan bersama untuk waktu yang cukup lama.
Ilmu merupakan proses kumulatif, maka dengan
bertambahnya pengetahuan dengan cara
yang terstruktur setiap tambahan yang diperoleh akan memberi sumbangan bagi ilmuwan dalam pemahamannya tentang
dunia sekitarnya. Proses ilmu mulai dengan teori dan berakhir juga dengan teori. Proses yang demikian
mempunyai tujuan untuk memperluas teori-teori
yang telah ada, yaitu dengan memanfaatkan temuan-temuan terbaru.
Dengan berkembangnya ilmu, teori-teorinya juga ikut berkembang.
Pada awal perkembangannya, mungkin
dalam suasana perkembangan teoretik yang
masih lemah, atau barangkali masih belum disertai adanya hokum yang mantap. Tahapan pertama dalam pembentukan
model dan perumusan hipotesis
bukanlah merupakan hal tanpa teori sama sekali, karena bila demikian berarti proses berpikirnya telah berlangsung
atas dasar kekosongan landasan. Semua pemikiran dibimbing oleh teori, walau ada
kalanya sangat lemah atau tidak akurat. setiap ilmuwan akan mengalami
pemasyarakatan proses penelitian ilmiah dalam substansi (materi) dislplin yang
bersangkutan. Sosok pengetahuan dan metodologi penelitian yang, dipelajarinya
akan memberinya kerangka dalam cara mengidentifikasi serta menangani masalah-masalah
baru. Bila menghadapi situasi baru, ilmuwan akan bereaksi dalam konteks apa yang
telah diketahuinya, berusaha menyatukannya dengan kerangka teoretik yang sudah
ada, dan dengan menggunakan metodologi yang telah dikuasainya serta hukum-hukum
yang bersangkutan.
Ilmu positif merupakan proses konservatif, yaitu dengan mengakumulasi kan pengetahuan
sepanjang jalur yang telah ditentukan. Tetapi
ada kalanya diperlukan pendobrakan (pemutusan) jalur konservatif, yaitu untuk mendapatkan penglihatan
baru dalam menangani rnasalah dalam
konteks kerangka teoretik yang berbeda. perangkat proposisi awal yang berbeda diperlukan untuk
mengarahkan deduksi baru yang mungkin memerlukan
juga metodologi baru sebelum ia sempat diuji.
Di antara ilmu-ilmu sosial, gecrgrafi manusia
tergolong paling akhir yang
mengadopsi pendekatan positivis. Hal yang demikian ini disebabkan antara lain oleh:
a. Lemahnya
hubungan dengan ilmu-irmu sosial,
b. Kaitan
utamanya dengan ilmu alami melalui geografi fisis (dalam geologi positivisme ilmu
tidak cukup dominan),
c. Dasar
yang kuat dalam humaniora dan filsafat eksepsionalis Hartshorne yang
menghasitkan keunikan kawasan muka bumi sebagai sasaran studi.
Sejak kapan tepatnya
geografi menerima pendekatan positivis tidak jelas betul. Tetapi pendekatan itu
mulai menyebar ke berbagai lembaga (perguruan tinggi dan akademi) di Amerika
serikat pada pertengahan dan akhir dasawarsa 1950-an. Alasan penerimaan
pendekatan positivis bermacam-macam dan tak mudah diketahui dengan jelas.
Secara akademik dan sosial ilmu dapat menimbulkan penghargaan. Para geografiwan
juga menginginkan bahwa pengetahuannya dipandang lebih ilmiah dan dapat berguna
bagi kehidupan sehingga perlu ada peningkatan mutu ilmu dan martabatnya.
Apapun yang menj adi
daya tarik untuk menerima pendekatan positivis, meluasnya penerimaan pendekatan
itu tidakl ah berkait sepenuhnya dengan sistem pendidikan geografi. Kenyataannya
program pendidikan geografi masih jarang yang dilengkapi dengan mata pelajaran
filsafat ilmu atau metode ilmiah maupun mata pelajaran serupa yang sangat
diperlukan untuk mendukung konsep positivisme ilmu. Istilah-istilah hukum, model,
teori, dan hipotesis memang makin meluas dipakai. Tetapi kesan umum yang ada
mengenai perkembangan saat itu barulah sampai pada apresiasi yang belum
menyeluruh terhadap argumentasi positivis.
Penerimaan pendekatan
positivisme ilmu telah memudarkan pandangan orang terhadap geografi regional.
Ketidakpuasan akan geografi regional telah membawa orang pada pertanyaan apakah
pendekatan regional dapat. memadai secara akademik untuk memungkinkan adanya
spesialisasi atau pengkhususan secara sistemati kedalam geografi. Freeman mengemukakan
tiga hal yang menjadikan orang kurang setuju pada pendekatan regional, yaitu:
a. Kenyataan
bahwa klasifikasi regional yang demikian banyak atas muka bumi adalah bersifat
naif (kekanak-kanakan), karena kalau orang menyelidiki secara lebih terperinci
akan tampak demikian banyak kekurangan atau kelemahannya,
b. Dengan
geografi regional orang cenderung mencakup terlalu banyak hal, baik aspek
frsis, kehidupan sosial budaya dan lain-lainnya,
c. Model
penulisan regional yang berasal dari Perancis (Vidal de la Blache) menyarankan
bahwa muka bumi dapat dibagi-bagi atas 'region-region' yang jelas, suatu hal
yang dalam kenyataannya sangat sukar dilihat dalam perwujudan yang sebenarnya.
Tantangan atas faham
regional bahkan menyangkut juga metodologi dan filsafat geografi yang
menyinggung juga persoalan kedudukan geografi sebagai ilmu atau bukan ilmu. Kontroversi
yang cukup nyata berlangsung di Amerika, di mana Hartshorne telah
mempublikasikan pernyataan paradigma regionalnya. Penentang pertamanya muncul dengan
adanya tulisan Schaefer (1953), yang diterbitkan kemudian setelah penulisnya
meninggal.
Schaefer berpendapat
bahwa tugas pertama geografi (manakala menerima filsafat dan metodologi
positivisme ilmu) ialah memberi kerangka hakikat ilmu dan mendefinisikan
karakteristik geografi sebagai ilmu sosial. Menurutnya, dalam geografi
keteraturan-keteraturan yang dilukiskan menyangkut pola-pola keruangan. Maka
geografi sebagai ilmu hendaknya berkepentingan untuk merumuskan hukum-hukum
yang mengatur distribusi keruangan fenomena tertentu di muka bumi. Tidak berbeda
dengan ilmu-itmu lain (tidak bersifat eksepsionalis), baik ilmu alami atau ilmu
sosiat, prosedur datam geografi menuntut langkah-langkah observasi yang
rnengarah pada perumusan hipotesis (tentang interrelasi dua pola keruangan)
yang selanjutnya memertukan pengujian pada sejumlah kasus agar dengan demikian
didapatkan materi untuk suatu hukum yang teruji. Menurut Schaefer, tanpa filsafat
dan metodologi ilmu, geografi dan sejarah tidak dapat dipandang sebagai ilmu.
Sumber:
Pengantar Filsafat Geografi -
Suharyono & M Amien (1994)