Home » » Geografi Menurut Pandangan Positivisme Ilmu

Geografi Menurut Pandangan Positivisme Ilmu

Written By Tasrif Landoala on Kamis, 12 September 2013 | 20.40



Bentuk kontroversi lain dalam geografi ialah yang mempertanyakan geografi itu (dalam pengertian terbatas pada geografi regional) dapat digolongkan sebagai ilmu atau tidak manakala kriteria yang dipakai berdasarkan pandangan positivisme dalam ilmu. Pertanyaan kontroversi ini timbul khususnya setelah muncul ketidakpuasan para ahli geografi mutakhir terhadap kemampuan geografi regional untuk mengatasi permasalahan kehidupan yang makin kompleks dan cepat berubah.
Perkembangan atau perubahan disiplin ilmu menyangkut disatu pihak adanya ketidakpuasan pada paradigma yang ada dan di pihak lain timbulnya upaya penyediaan alternatif lain. Perubahan atau penggantian tidak selalu berjalan dengan lancar, karena masing-masing paradigma memiliki sejumlah pendukungnya. Hal yang demikian itu dapat menyangkut juga persoalan isi, metode atau sasaran utama studi disiplin ilmu yang bersangkutan. Ada kalanya dua paradigma yang saling bertentangan (dalam arti tidak memuaskan bagi pihak yang lain) berjalan bersama untuk waktu yang cukup lama.
Ilmu merupakan proses kumulatif, maka dengan bertambahnya pengetahuan dengan cara yang terstruktur setiap tambahan yang diperoleh akan memberi sumbangan bagi ilmuwan dalam pemahamannya tentang dunia sekitarnya. Proses ilmu mulai dengan teori dan berakhir juga dengan teori. Proses yang demikian mempunyai tujuan untuk memperluas teori-teori yang telah ada, yaitu dengan memanfaatkan temuan-temuan terbaru.
Dengan berkembangnya ilmu, teori-teorinya juga ikut berkembang. Pada awal perkembangannya, mungkin dalam suasana perkembangan teoretik yang masih lemah, atau barangkali masih belum disertai adanya hokum yang mantap. Tahapan pertama dalam pembentukan model dan perumusan hipotesis bukanlah merupakan hal tanpa teori sama sekali, karena bila demikian berarti proses berpikirnya telah berlangsung atas dasar kekosongan landasan. Semua pemikiran dibimbing oleh teori, walau ada kalanya sangat lemah atau tidak akurat. setiap ilmuwan akan mengalami pemasyarakatan proses penelitian ilmiah dalam substansi (materi) dislplin yang bersangkutan. Sosok pengetahuan dan metodologi penelitian yang, dipelajarinya akan memberinya kerangka dalam cara mengidentifikasi serta menangani masalah-masalah baru. Bila menghadapi situasi baru, ilmuwan akan bereaksi dalam konteks apa yang telah diketahuinya, berusaha menyatukannya dengan kerangka teoretik yang sudah ada, dan dengan menggunakan metodologi yang telah dikuasainya serta hukum-hukum yang bersangkutan.
Ilmu positif merupakan proses konservatif, yaitu dengan mengakumulasi kan pengetahuan sepanjang jalur yang telah ditentukan. Tetapi ada kalanya diperlukan pendobrakan (pemutusan) jalur konservatif, yaitu untuk mendapatkan penglihatan baru dalam menangani rnasalah dalam konteks kerangka teoretik yang berbeda. perangkat proposisi awal yang berbeda diperlukan untuk mengarahkan deduksi baru yang mungkin memerlukan juga metodologi baru sebelum ia sempat diuji.
Di antara ilmu-ilmu sosial, gecrgrafi manusia tergolong paling akhir yang mengadopsi pendekatan positivis. Hal yang demikian ini disebabkan antara lain oleh:
a.    Lemahnya hubungan dengan ilmu-irmu sosial,
b. Kaitan utamanya dengan ilmu alami melalui geografi fisis (dalam geologi positivisme ilmu tidak cukup dominan),
c. Dasar yang kuat dalam humaniora dan filsafat eksepsionalis Hartshorne yang menghasitkan keunikan kawasan muka bumi sebagai sasaran studi.

Sejak kapan tepatnya geografi menerima pendekatan positivis tidak jelas betul. Tetapi pendekatan itu mulai menyebar ke berbagai lembaga (perguruan tinggi dan akademi) di Amerika serikat pada pertengahan dan akhir dasawarsa 1950-an. Alasan penerimaan pendekatan positivis bermacam-macam dan tak mudah diketahui dengan jelas. Secara akademik dan sosial ilmu dapat menimbulkan penghargaan. Para geografiwan juga menginginkan bahwa pengetahuannya dipandang lebih ilmiah dan dapat berguna bagi kehidupan sehingga perlu ada peningkatan mutu ilmu dan martabatnya.
Apapun yang menj adi daya tarik untuk menerima pendekatan positivis, meluasnya penerimaan pendekatan itu tidakl ah berkait sepenuhnya dengan sistem pendidikan geografi. Kenyataannya program pendidikan geografi masih jarang yang dilengkapi dengan mata pelajaran filsafat ilmu atau metode ilmiah maupun mata pelajaran serupa yang sangat diperlukan untuk mendukung konsep positivisme ilmu. Istilah-istilah hukum, model, teori, dan hipotesis memang makin meluas dipakai. Tetapi kesan umum yang ada mengenai perkembangan saat itu barulah sampai pada apresiasi yang belum menyeluruh terhadap argumentasi positivis.
Penerimaan pendekatan positivisme ilmu telah memudarkan pandangan orang terhadap geografi regional. Ketidakpuasan akan geografi regional telah membawa orang pada pertanyaan apakah pendekatan regional dapat. memadai secara akademik untuk memungkinkan adanya spesialisasi atau pengkhususan secara sistemati kedalam geografi. Freeman mengemukakan tiga hal yang menjadikan orang kurang setuju pada pendekatan regional, yaitu:
a. Kenyataan bahwa klasifikasi regional yang demikian banyak atas muka bumi adalah bersifat naif (kekanak-kanakan), karena kalau orang menyelidiki secara lebih terperinci akan tampak demikian banyak kekurangan atau kelemahannya,
b.  Dengan geografi regional orang cenderung mencakup terlalu banyak hal, baik aspek frsis, kehidupan sosial budaya dan lain-lainnya,
c.    Model penulisan regional yang berasal dari Perancis (Vidal de la Blache) menyarankan bahwa muka bumi dapat dibagi-bagi atas 'region-region' yang jelas, suatu hal yang dalam kenyataannya sangat sukar dilihat dalam perwujudan yang sebenarnya.

Tantangan atas faham regional bahkan menyangkut juga metodologi dan filsafat geografi yang menyinggung juga persoalan kedudukan geografi sebagai ilmu atau bukan ilmu. Kontroversi yang cukup nyata berlangsung di Amerika, di mana Hartshorne telah mempublikasikan pernyataan paradigma regionalnya. Penentang pertamanya muncul dengan adanya tulisan Schaefer (1953), yang diterbitkan kemudian setelah penulisnya meninggal.
Schaefer berpendapat bahwa tugas pertama geografi (manakala menerima filsafat dan metodologi positivisme ilmu) ialah memberi kerangka hakikat ilmu dan mendefinisikan karakteristik geografi sebagai ilmu sosial. Menurutnya, dalam geografi keteraturan-keteraturan yang dilukiskan menyangkut pola-pola keruangan. Maka geografi sebagai ilmu hendaknya berkepentingan untuk merumuskan hukum-hukum yang mengatur distribusi keruangan fenomena tertentu di muka bumi. Tidak berbeda dengan ilmu-itmu lain (tidak bersifat eksepsionalis), baik ilmu alami atau ilmu sosiat, prosedur datam geografi menuntut langkah-langkah observasi yang rnengarah pada perumusan hipotesis (tentang interrelasi dua pola keruangan) yang selanjutnya memertukan pengujian pada sejumlah kasus agar dengan demikian didapatkan materi untuk suatu hukum yang teruji. Menurut Schaefer, tanpa filsafat dan metodologi ilmu, geografi dan sejarah tidak dapat dipandang sebagai ilmu.

Sumber:
Pengantar Filsafat Geografi - Suharyono & M Amien (1994)

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger