Penataan ruang suatu perkotaan mulai memasukkan
konsep ekologis sebagai pertimbangan dalam menjadikan kota mandiri,
walaupun menghubungkan antara kota dengan ekologi belum banyak dilakukan oleh
peneliti (Argo, 2001). Pada saat ini kota terkesan tidak mandiri, bersifat
parasitik, banyak tergantung pada desa dalam hal pemenuhan sumberdaya
alam untuk konsumsi dan pembuangan sampah perkotaan.
Hal ini dapat menunjukkan ketidakberlanjutan kota
dapat terjadi. Untuk itu kota perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut
(Argo, 2001 dan Samiadji, 2001):
1.
Memanfaatkan sumberdaya alam yang ada
secara efisien, baik yang berada di pinggiran kota maupun di kabupaten di luar
kota. Jika sumberdaya alam itu tersedia di luar perkotaan perlu dilakukan kerja
sama antar daerah untuk mempertahankan keberlanjutan. Untuk itu pula kawasan
sumberdaya alam ini perlu dikontrol pembangunannya.
2.
Memanfaatkan ruang kota sebagai
sumberdaya alam kota yang memiliki tiga nilai (Chaoin, 1957) yaitu:
a.
Nilai ekonomi: fungsi ekonomi ruang kota
dapat diperoleh dari perdagangan, penyewaan ruang kota, dan lain-lain;
b. Nilai lingkungan: memanfaatkan ruang
kota sebagai daya dukung dan daya tampung sehingga terjadi keseimbangan dan
keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan untuk menghindari terjadinya
bencana alam, seperti banjir, longsor, dan sebagainya;
c.
Nilai kepentingan umum: ruang kota
digunakan untuk fasilitas masyarakat umum, seperti jalan, taman, bahkan
memungkinkan untuk berkembangnya demokrasi yang adil dan merata.
3.
Kegiatan kota diusahakan dalam skala
kecil untuk mengurangi eksploitasi yang tinggi.
4.
Meminimasikan pergerakan dan diupayakan
sifatnya lokal dalam kota itu sendiri.
Untuk mengembangkan
konsep keberlanjutan dalam penataan ruang kota, terdapat beberapa format yang berbeda
di tiap negara. Indonesia menggunakan konsep land use planning sebagaimana
tercantum dalam UU 24/1992 dalam rangka menahan tekanan urbanisasi. Sementara
Jepang, misalnya, memasukkan urban promotion area dalam land use
planning-nya serta adanya urban development project yang terdiri dari
land readjustment
project,
urban redevelopment project, new residential area development project,
dan sebagainya (Bambang, 2001). Konsep-konsep kota yang lain juga ditawarkan
oleh ahli ekologi perkotaan modern. Kota dianggap sebagai satu kesatuan
sehingga muncullah konsep-konsep kota yang ekologis sebagai berikut (Argo,
2001):
1. Compact
city.
Konsep yang dikenal di Jerman ini meminimalkan penggunaan ruang kota sehingga memudahkan
pergerakan penduduknya dari suatu lokasi ke lokasi lain dengan berjalan kaki
atau bersepeda, misalnya. Akibatnya timbul istilah rooftop garden, ruang
terbuka hijau di atap-atap gedung untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
2. Eco-city.
Berbeda
dengan compact city, eco-city lebih mempertimbangkan interaksi
antara manusia dengan alamnya agar menjadi kreatif. Kota dibangun untuk
memaksimalkan pertukaran (exchange, dari barang, jasa, emosi, dan
lain-lain) dan meminimalkan pergerakan (traffic). Namun karena
pembangunan kota lebih ditujukan kepada manusia, maka dalam konsep ini,
pergerakan jalan kaki lebih didahulukan daripada transportasi massa, yang
menggunakan mesin.
3. Bioregional
city. Konsep bioregion menekankan pada pemanfaatan
sumberdaya lokal sehingga masyarakat kota tersebut masih menanam tanaman pangan
sendiri hingga mendistribusikan secara lokal pula. Hubungan kota dan non-kota
memang tidak dibutuhkan, tetapi sifatnya yang lokal ini menjadikan kota rentah
terhadap pengaruh global.
4. Sustainable
city.
Aspek penurunan kualitas lingkungan menjadi faktor penting dalam konsep ini.
Kota berkelanjutan diupayakan dapat menilai ketergantungan kepada lingkungan
alam, sebatas mana kerusakan lingkungan masih dapat ditolerir. Meski demikian,
sesuai dengan pengertian berkelanjutan, aspek ekonomi dan sosial pun terkait
erat pada lingkungan.