Hambatan dan tantangan terbesar dari penerapan
perencanaan partisipatif adalah resistensi birokrasi (mental block) dan politisi, serta menganggap kapasitas masyarakat
dan perangkat pemerintahan desa masih sangat terbatas baik teknis maupun
sikap/perilaku berdemokrasi. Resistensi birokrasi terutama berkaitan dengan
pembagian/pendelegasian kewenangan dan perimbangan keuangan. Sebagian besar
birokrat masih keberatan apabila kewenangannya diserahkan yang akan membawa konsekuensi
berkurangnya anggaran dinas/instansi yang dikuasainya. Selain itu, masih banyak
peraturan birokrasi yang berorientasi proyek. Pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan institusi lokal (kelembagaan partisipasi
masyarkat) pun dilaksanakan dengan pendekatan proyek. Untuk mengatasi hal ini,
langkah yang harus ditempuh antara lain: Pemaksaan melalui pembaruan
kebijakan/peraturan perundang-undangan yang lebih prodemokrasi/partisipasi (structural); dan pendekatan sosial-kultural (mental
treatment, pendidikan dan latihan, dsb).
Resistensi politisi diperkirakan akan muncul karena
salah satu konsekuensi dari desentralisasi fiscal adalah berkurangnya anggaran
daerah yang berarti juga mengurangi nominal anggaran legislative. Hal ini lebih
mudah diselesaikan melalui pendekatan politik dengan mengedepankan sikap
kenegarawanan. Tantangan terberat adalah bagaimana agar manajemen partisipatif
ini tidak terdistorsi dan dimanipulasi oleh kelompok tertentu, seperti elit
desa dan sebagainya. Karena itu, pengembangan sistem/mekanisme perumusan/pengambilan kebijakan publik, termasuk resolusi konflik, serta
peningkatan kapasitas masyarakat dan modal sosial sangat mendesak dilakukan.
Akhirnya, pengembangan manajemen partisipatif ini
tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran, keuletan dan komitmen yang tinggi untuk
mewujudkannya.
Mengingat partisipasi adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance, banyak organisasi memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance. Strategi yang diambil organisasi civil society umumnya dilandasi analisis situsasi yang mengemukakan adanya tiga hambatan utama menuju partisipasi yang baik (Hetifah. 2000), yaitu:
Mengingat partisipasi adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance, banyak organisasi memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance. Strategi yang diambil organisasi civil society umumnya dilandasi analisis situsasi yang mengemukakan adanya tiga hambatan utama menuju partisipasi yang baik (Hetifah. 2000), yaitu:
1. Hambatan structural yang membuat iklim atau lingkungan
menjadi kurang kondusif untuk terjadinya partisipasi. Di antaranya adalah
kurangnya kesadaran berbagai pihak akan pentingnya partisipasi serta kebijakan
maupun aturan yang kurang mendukung partisipasi termasuk kebijakan
desentralisasi fiskal.
2. Hambatan internal masyarakat sendiri, diantaranya
kurang inisiatif, tidak terorganisir dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk
terlibat secara produktif dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini terjadi
antara lain akibat kurangnya informasi.
3. Hambatan akibat kurang terkuasainya metode dan
teknik-teknik partisipasi.