Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 menyebutkan bahwa
ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Selanjutnya, tata
ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan
maupun tidak. Pengertian penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya
penataan ruang kota. Beberapa persoalan dalam penataan
ruang adalah:
1. Kebijakan Pemerintah yang tidak sepenuhnya
berorientasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak terlibat langsung
dalam pembangunan.
2. Tidak terbukanya para pelaku pembangunan dalam
menyelenggarakan proses penataan ruang (gap
feeling) yang menganggap masyarakat sekedar obyek pembangunan.
3. Rendahnya upaya-upaya pemerintah dalam memberikan
informasi tentang akuntabilitas dari program penataan ruang yang
diselenggarakan, sehingga masyarakat merasa pembangunan yang dilaksanakan tidak
memperhatikan aspirasinya.
4. Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah
menjadi kepentingan bersama (common
interest), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak
sama. Hal ini ditunjukkan dimana Pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan
konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya
dengan proses tersebut. Jadi semua proses keputusan yang diambil harus
melibatkan masyarakat.
5. Tidak optimalnya kemitraan atau sinergi antara swasta
dan masyarakat dalam penyelenggaraan Penataan ruang.
6. Persoalan yang dihadapi dalam perencanan partisipatif
saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan. Jarak antara
penyampaian aspirasi hingga jadi keputusan relative jauh.
UU 32/2004 (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25
Tahun 2000) tentang Otonomi Daerah maka telah menggeser pemahaman dan
pengertian banyak pihak tentang usaha pemanfaatan sumber daya alam, terutama
asset yang selama ini diangap untuk kepentingan Pemerintahan Pusat dengan
segala perizinan dan aturan yang menimbulkan perubahan kewenangan. Perubahan
sebagai tanggapan dari ketidak adilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan
sumber daya alam yang tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak
diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi Regional atau
Nasional. Meskipun di dalam UU tersebut desa juga dinyatakan sebagai daerah
otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian
besar kebijakan publik, paling rendah masih diputuskan di tingkat kabupaten.
Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di
tingkat local/desa. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan
potensi terjadinya deviasi, baik yang pada gilirannya menyebabkan banyak
kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Berdasar persoalan-persoalan tersebut, upaya keras untuk
mewujudkan partisipasi masyarakat yang sesungguhnya harus diupayakan. Maka
kerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat (ornop), tokoh masyarakat, dewan perwakilan rakyat, dan
pihak-pihak terkait lainnya perlu disinergikan.