Home » , » Pendekatan Pewilayahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Pendekatan Pewilayahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 16 November 2013 | 07.20



Pendekatan pewilayahan ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain lain. Dalam perspektif pewilayahan ekonomi, penataan RTH dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Tingginya frekuensi bencana banjir di perkotaan dewasa ini diduga juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas. Terbatasnya daerah resapan ini karena konsep pewilayahan ekonomi tidak memperhatikan keterkaitan dengan kondisi ekologis kota.


Dalam perspektif pewilayahan sosial-budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai area alun-alun kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya. Isue yang terjadi secara sosial, bahwa tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka hijau, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Dalam perspektif pewilayahan administratif, struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka hijau publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya.
Pada unit lingkungan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan perlu disediakan. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Dari perspektif biaya atau program, rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 2001) tetapi dinamis memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Terjadinya simpangan besar tata ruang kota merupakan akibat dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan gagalnya kekuatan politik atas tata ruang. Kekuatan politik atas tata ruang dapat dicerminkan sebagai keterlambatan program tata ruang dalam mengatasi kebutuhan utilitas kota atas tekanan penduduk yang tinggi, sehingga memarjinalkan daerah kawasan lindung atau ruang terbuka hijau.
Dana pada dasarnya merupakan kendala yang sulit diatasi. Namun demikian, apabila stakeholders memiliki kesadaran atas kecenderungan meningkatnya pencemaran udara, maka dana bukan menjadi masalah lagi. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua). Jika semua pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp 1.000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya (Waryono, 1990).
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger