Anda Pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post
Tampilkan postingan dengan label Ruang Terbuka Hijau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ruang Terbuka Hijau. Tampilkan semua postingan

Peran Stakeholders dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Terbuak Hijau (RTH)

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 16 November 2013 | 07.56



Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang, menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang. Masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam penataan ruang, menjalankan peranannya dan mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk mencapai tujuan penataan ruang khususnya terkait kepentingan publik yakni RTH.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan menyatakan bahwa penyediaan atau pengadaan tanah untuk keperluan Ruang Terbuka Hijau Kota dilaksanakan melalui tata cara penguasaan tanah baik perseorangan maupun Badan Hukum yang tanahnya dalam keadaan terlantar dan atau digunakan, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, juga menuntut peran serta swasta dan masyarakat. Peran partai politik (DPRD) menduduki posisi strategis dalam pengembangan visi lingkungan karena mitra kerja dalam pembahasan anggaran (APBD). Sebaik apa pun visi lingkungan Kepala Daerah, tidak akan tercapai tanpa dukungan penganggaran bersama dalam pembangunan hijau. Dalam Inmendagri tersebut juga mewajibkan Pemerintah Daerah menyediakan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta mendorong dana dan swadaya ini untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota. Pengelolaan RTH harus berbasis masyarakat, dengan diikutkan secara aktif diharapkan pembangunan lingkungan akan berhasil.
Masyarakat dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan (APBD Hijau/Green budgeting). Anggaran biaya untuk lingkungan hidup dalam APBD ditingkatkan paling tidak menjadi 10 persen atau lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1 persen saja. Sebagai pembanding, alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman adalah 6 persen, di Vietnam 5 persen (Sobirin, 2010). Perlu upaya mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User Charges, dana investasi lingkungan, model tarif, pajak dan retribusi. Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan lingkungan hidup.
Prinsip tersebut seiring dengan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholders utama pembangunan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang termasuk tingkatan kewenangan hirarki Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Pembangunan kawasan perkotaan memerlukan keterpaduan, kesinambungan, dan kerja sama pembangunan perkotaan untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, dan sinergitas dalam penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat dan pelestarian ekosistem (Permendagri No. 69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan). Kerja sama pembangunan perkotaan adalah kesepakatan antar kepala daerah yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Pemerintah Daerah mengendalikan seluruh kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan tidak memberikan ijin perubahan penggunaan Ruang Terbuka Hijau Kota untuk kepentingan/peruntukan lainnya. Pemerintah Daerah wajib melakukan pengendalian secara ketat tentang pemberian dan pencabutan ijin pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota (Inmendagri No 14 tahun 1988). Diharapkan peran masyarakat untuk melakukan pengawasan pembangunan yang lebih intensif sehingga deviasi tata ruang dan marjinalisasi RTH Kota dapat dikendalikan sejak awal.
RTRW menjadi instrumen penting untuk membela kepentingan masyarakat kota yang terpinggirkan oleh pembangunan yang kurang menghitungkan ruang fisik/lahan yang tersedia tanpa memahami lebih jauh kepentingan manusia yang menempati ruang-ruang di perkotaan khususnya RTH. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan masyarakat dalam kebijakan berbasis sosial yaitu :
1. Skala ekonomi dari alokasi anggaran, urusan atau program yang dianggarkan harus memiliki cukup pengaruhnya terhadap seluruh kegiatan ekonomi;
2.    Ruang lingkup ekonomi dari kegiatan yang dibiayai oleh anggaran publik;
3.    Untung rugi secara sosial mempertimbangkan dampak jangka panjang;
4.  Keuntungan harus berpihak pada bagian terbesar masyarakat yang terpinggirkan atau yang tidak berdaya dalam persaingan pasar yang bebas;
5. Acuan konsumen merupakan dasar pertimbangan dalam menyusun belanja bagi kegiatan pemerintah.

Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota



Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari jumlah penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006). Fenomena pertumbuhan penduduk tersebut memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga perlu mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik.
Kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35 persen pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 persen pada saat ini. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2 (Dardak, 2006).
Kepmen PU No. 378 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedangkan untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Secara keseluruhan kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa (Purnomohadi, 2006), agar dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem, dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (sosial-ekomomi), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetika).
Issue berkaitan dengan ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor (Dardak, 2006). Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Pentingnya fungsi tanaman di area ruang terbuka publik di daerah tropis lembab antara lain untuk perlindungan terhadap panas terik matahari. Selain itu, untuk memproduksi O2, mengurangi debu yang meliputi kota (urban dust dome), mengurangi panas lingkungan (untuk foto sintesis menyerap panas matahari satu persen, pohon berdaun lebat dapat merefleksikan panas matahari sampai 75 persen). Dalam kaitannya dengan ruang terbuka hijau vegetasi memiliki berbagai fungsi antara lain untuk keindahan dan kenyamanan (Hardiman, 2008).


Kondisi ekologis kota yang buruk secara ekonomis dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu, dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal diantara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Sementara itu, secara teknis issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholders dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.
Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Pemerintah kota, investor, pengembang (developer) dan masyarakat luas masih belum banyak menyentuh perancangan ruang terbuka hijau kota. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah). Secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat mengelola RTH secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat rendah dalam penyelenggaraan RTH, sehingga pemerintah selalu terbentur pada masalah keterbatasan pendanaan.
Pengelolaan RTH kota yang baik seyogyanya dapat bersinergi antara pemerintah kota, masyarakat dan swasta. Dengan memperhatikan aspek-aspek diatas diharapkan kualitas ruang terbuka hijau yang dirancang akan lebih baik dan berkesinambungan. Untuk mencegah pergeseran ruang terbuka hijau kota yang semakin tidak jelas, diperlukan pengendalian melalui pengelolaan yang mempertimbangkan aspek pelestarian. Upaya pelestarian (mempertahankan) ruang terbuka hijau merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jika kota dapat mempertahankan penghuni ruang kota yang berkultur tradisionalistik dan berbudaya ekologi. Pencapaian target RTH perlu disusun dalam bentuk masterplan, hingga tatanan kegiatannya (waktu, lokasi, dan biaya yang diperlukan), secara jelas tertuang dalam rencana. Upaya lain yang harus dilakukan adalah peningkatan kinerja institusi terkait, termasuk unit-unit pelaksana teknis pembangunan kawasan hijau. Rendahnya mutu kualitas pembangunan kawasan hijau, dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas jenis dan pemulihan habitat. Tatanan prioritas pembangunan kawasan hijau berdasarkan alokasi lahan, bantaran sungai menjadi prioritas utama, diikuti oleh kawasan penyangga situ-situ. Strategi pencapaiannya, dilakukan melalui koordinasi baik dalam pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau secara berkelanjutan.
Untuk meningkatkan pengamanan terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau, nampaknya pemberdayaan pembangunan pagar hijau perlu dilakukan, termasuk penyediaan sarana fasilitas pemeliharaan (penyiraman) secara efisien. Keterkaitannya dengan pendanaan, pemberdayaan stakeholders melalui kompensasi lingkungan bagi pemilik kendaraan bermotor perlu dilakukan, dan dipayungi dalam bentuk Perda. Salah satu upaya lain yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan (Dardak, 2006). Selain itu, untuk mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar (metropolitan) yang notabene mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks perlu dikembangkan kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu dan juga dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota inti menjadi berkurang.
Permasalahan yang sering muncul dalam pembangunan di suatu kawasan adalah tumpang tindihnya penggunaan peruntukan lahan dan atau pembangunan yang tidak mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam tata ruang daerah. Penataan RTH pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mendukung beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi dan sosial) dan lingkungan hidup (aspek ekologi). Pengalokasian RTH memberikan jaminan terpeliharanya ruang yang berkualitas dan mempertahankan keberadaan obyek-obyek ruang terbuka hijau sebagai aset yang dapat dinikmati bersama. Dalam pengembangan kegiatan pembangunan ekonomi diperlukan pengaturan-pengaturan alokasi ruang yang dapat menjamin pembangunan berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Sebagaimana diketahui bahwa rencana tata ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam rencana umum tata ruang kota, yang merupakan rencana jangka panjang: rencana detil tata ruang kota, sebagai rencana jangka menengah, dan rencana teknis tata ruang kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue print) (Sunardi, 2004). Kelemahan penyelenggaraan penataan ruang selama ini terletak pada ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan implementasinya. Hal ini disebabkan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kedepan diharapkan tidak hanya penawaran insentif dan disinsentif tetapi juga belanja lahan RTH untuk merangsang kesadaran terhadap prinsip tata ruang. Bila fenomena tersebut tidak dijadikan bahan kebijakan maka mustahil pembangunan akan berkelanjutan sebagaimana diharapkan generasi berikutnya.
Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) tahun1987, yang dikenal dengan nama Komisi Bruntland. Isu utama yang disetujui oleh komisi tersebut adalah bahwa pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Persoalan lingkungan dunia telah ditetapkan sebagai isu utama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang.
Secara positif, pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan ekonomi lokal, sebuah program yang masih harus didefinisikan lebih lanjut. Tantangan model pembangunan baru ini adalah mengembangkan, menguji dan menyebarkan cara-cara untuk mengubah proses pembangunan ekonomi yang tidak menghancurkan ekosistem, kata kuncinya saving as percentage of gdp = or more than depreciation of human knowledge + depreciation of human made capital + depreciation of natural capital (Haeruman, 2010). Terdapat 7 komponen pembangunan berkelanjutan yaitu :
1.    Prinsip dasar piagam bumi (normatif dan sistem nilai);
2.    Kesepakatan global (partisipatif dan lintas pelaku);
3.    Rencana tindak (RPJP/D, RPJM, Propeda);
4.    Prioritas dan strategi (renstra dan kebijakan pembangunan);
5.  Sistem pengelolaan pembangunan (proses perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan);
6.    Sistem kelembagaan (organisasi dan tata cara); dan
7.    Instrumen pengatur (sistem hukum,etika dan pasar).

Kesepakatan global yang tertuang dalam deklarasi pembangunan berkelanjutan di Johanesburg adalah membangun masyarakat global yang manusiawi, berkeadilan dan bersama melaksanakan visi masa depan kemanusiaan; memberantas kemiskinan dan menerapkan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan; multilateralisme adalah masa depan. Rencana tindak pembangunan berkelanjutan disusun rencana pemberantasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi yang meliputi energi, transportasi, pengelolaan limbah dan pengelolaan siklus hidup bahan kimia. Disamping itu, disusun pula rencana perlindungan dan pengelolaan sumber alam, pengembangan global dari pembangunan berkelanjutan dan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan. Pola pengelolaan pembangunan berkelanjutan terdiri dari 4 bagian, yaitu :
1.    Pola pengambilan kebijakan yang meliputi kebijakan, programming dan pembiayaan;
2.    Produksi/konsumsi yang meliputi outcome, output, dan input;
3.  Indikator pengendali yang meliputi dampak produksi/konsumsi dan biaya depresiasi nilai; serta
4. Alat pemantau yang meliputi evaluasi, audit nilai ekonomi/sosial/lingkungan, dan audit finansial (Haeruman, 2010).

Instrumen pengatur, dalam peraturan perundangan perlu diserasikan antara kewenangan, tanggung jawab, dan indikator kinerjanya. Mekanisme pasar yang berkaitan dengan harga sebagai indikator kelangkaan yang tepat perlu dipertimbangkan disamping sistem tata nilai sosial, adat dan budaya yang diperlukan untuk mengembangkan pembangunan berbasis masyarakat.
Tidak seorangpun betul-betul memahami dengan tepat, bagaimana dan bilamana pembangunan berkelanjutan dapat dicapai. Dengan demikian pengembangan konsensus di tingkat lokal harus dilakukan, sebagai dasar bagi pencapai pembangunan berkelanjutan di tingkat global. Di tingkat lokal, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi harus mendukung kehidupan dan penguatan komunitas, dengan mendayagunakan bakat dan sumberdaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya berikutnya adalah mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara merata dan adil kepada berbagai kelompok sosial dalam jangka panjang. Semua itu hanya mungkin dilakukan jika bisa dicegah agar aktivitas pembangunan ekonomi tidak menghacurkan sumberdaya alam dan kualitas ekosistem.

Pendekatan Pewilayahan Ruang Terbuka Hijau (RTH)



Pendekatan pewilayahan ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain lain. Dalam perspektif pewilayahan ekonomi, penataan RTH dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Tingginya frekuensi bencana banjir di perkotaan dewasa ini diduga juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas. Terbatasnya daerah resapan ini karena konsep pewilayahan ekonomi tidak memperhatikan keterkaitan dengan kondisi ekologis kota.


Dalam perspektif pewilayahan sosial-budaya, keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai area alun-alun kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya. Isue yang terjadi secara sosial, bahwa tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka hijau, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan. Dalam perspektif pewilayahan administratif, struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka hijau publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya.
Pada unit lingkungan terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan perlu disediakan. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Dari perspektif biaya atau program, rencana tata ruang kota bukan sekedar kumpulan prosedur dan peta yang hanya disimpan dalam file dokumen daerah (Miller, 2001) tetapi dinamis memiliki skema program tata ruang yang hendak dicapai. Terjadinya simpangan besar tata ruang kota merupakan akibat dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan gagalnya kekuatan politik atas tata ruang. Kekuatan politik atas tata ruang dapat dicerminkan sebagai keterlambatan program tata ruang dalam mengatasi kebutuhan utilitas kota atas tekanan penduduk yang tinggi, sehingga memarjinalkan daerah kawasan lindung atau ruang terbuka hijau.
Dana pada dasarnya merupakan kendala yang sulit diatasi. Namun demikian, apabila stakeholders memiliki kesadaran atas kecenderungan meningkatnya pencemaran udara, maka dana bukan menjadi masalah lagi. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan di DKI Jakarta tercatat ada 4,1 juta kendaraan (roda empat, tiga dan dua). Jika semua pemilik kendaraan memiliki kesadaran membayar resiko lingkungan sebesar Rp 1.000,-/kendaraan/tahun, maka jumlah dana yang tersedia sebesar Rp 4,1 milyar setiap tahunnya (Waryono, 1990).

Perencanakan dan Realisasi RTH Kota dalam Perencanaan Kota

Written By Tasrif Landoala on Jumat, 25 Oktober 2013 | 20.19



Dengan maksud agar perencanaan RTH kota dapat terealisai, maka perencanaan kota tersebut jangan sampai tetap tinggal sebagai gambar belaka, akibat ide perencanaan tak mengandung arti sosial. RTH kota dapat diterapkan, bila memang berarti untuk meningkatkan nilai perencanaan tersebut. Artinya tanpa unsur RTH kota sebagai penyeimbang struktur fisik sudah pasti fungsi lingkungan yang nyaman dan lestari tak akan tercapai. Untuk alasan inilah, berbagai ukuran dan skala perancangan telah dipertimbangkan, sehingga perencanaan nampak menjadi kompleks.
Demikian pula kasus rehabilitasi perencanaan kota di Osaka, Jepang, perencanaan kota dibuat modern sehingga nampak menjadi sangat kompleks. Reklamasi pesisir pantai wilayah kota kedua terbesar di Jepang tersebut dimaksudkan sebagai suatu wilayah baru untuk pembangunan lapangan terbang sekaligus area rekreasi. Demikian pula dengan negara kota taman Singapura, yang sampai kini masih giat membangun proyek perluasan wilayah di bagian pesisir pantai timur pulaunya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, sumber material urungnya didatangkan dari Kepulauan Riau, Indonesia.
Secara teoritis, maupun dalam pelaksanaannya, proyek rehabilitasi (sebagian) kota di luar negeri dapat dibedakan ke dalam dua aspek berdasar hak kepemilikan dan pengelolaan lahan sebagai berikut:
1. Perencanaan kota dimana satu atau beberapa badan masyarakat dapat langsung menangani proyek-proyek, termasuk sarana kota utama yang harus dibangun dalam perencanaan kota, seperti jalan, taman (RTH), sarana lain dalam proyek terpadu tersebut, juga dalam persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali (rehabilitasi atau revitalisasi). Di sini, proyek yang dimaksud adalah yang membutuhkan penguasaan atas tapak yang diperlukan dan dengan investasi masyarakat. Umumnya, proyek yang menggunakan metoda lahan yang diplot kembali, seperti proyek persesuaian lahan ini, biasanya akan tetap membutuhkan sedikit modal masyarakat.
2.  Perencanaan kota dimana kegiatan-kegiatan dilakukan oleh sektor swasta, yang biasanya tidak langsung diatur termasuk sarana kota utama yang harus dibangun oleh organisasi perencanaan kota seperti: proyek tunggal, misalnya: jalan, park, dan sarana lain, serta proyek terpadu, seperti persesuaian lahan dan pembangunan kota kembali. Rehabilitasi kota harus menghubungkan dengan perancangan dalam sistem zoning tata guna lahan untuk pekerjaan bangunan dan sistem perijinan kerja pembangunan yang disesuaikan dengan peruntukan lahan.

Berdasar pertimbangan atas dasar peraturan (regulasi) tersebut di atas, maka pekerjaan itu harusnya dilaksanakan dengan rasa syukur, sebab bila ruang terbuka (di dalamnya terdapat RTH kota) diciptakan, maka terdapat dua macam ukuran pelaksanaan, yakni modal masyarakat yang besar dan bagi kepentingan masyarakat dan atau yang dilaksanakan oleh modal atau sektor swasta. Sebagai konsekuensinya, perlu ditentukan mana yang dipilih diantara atau bersama-sama antar kedua ukuran tersebut di atas, sebelum diputuskan pelaksanaannya.
Jadi, meskipun sarana kota itu dibangun dari investasi masyarakat, maka sarana kota khususnya sarana RTH kota yang penting dan harus ada tersebut, pemerintahan kota yang seharusnya tetap menjaga dan memeliharanya, meskipun butuh biaya tinggi. Sedang sarana perencanaan kota dan konstruksinyalah yang dapat menjadi tanggung jawab masyarakat. Pada kasus ini, kebanyakan merupakan proyek tunggal masyarakat umum. Langkah pertama ini harus diambil, sebab biasanya biaya ”penguasaan lahan” yang menjadikan proyek ini terlaksana, menjadi sangat tinggi.
Sementara itu pada investasi swasta, kebutuhan RTH-nya akan berbeda-beda, tetapi semua tetap harus terjalin dimana proyek tersebut berada dalam berbagai tipe wilayah kota yang ada. Areal RTH tersebut dibangun untuk keseimbangan dengan bangunan non-pemerintah dan merupakan perencanaan menyeluruh dari wilayah kota tersebut. Dalam kasus seperti ini, investasi sektor swasta lebih disukai dari pada investasi umum karena:
1. Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun melalui ijin sebagai bagian karya pembangunan. Ini merupakan semacam aturan pembatasan perencanaan kota, di Amerika disebut sub-division control. Metoda menyisihkan lahan untuk RTH didasarkan pada kriteria dengan skala dan tipe karya pembangunan tertentu sesuai yang dikehendaki, sekaligus merupakan kondisi penting agar usulan pembangunan disetujui. RTH diciptakan oleh proyek masyarakat yang didasarkan pada ijin resmi dan merupakan sumbangan untuk organisasi masyarakat lokal. Maka, tanpa kecuali, RTH telah menjadi bagian dari pembangunan lahan oleh sektor swasta pula. Asumsi perkiraan kebutuhan RTH secara kasar, adalah 3-6 meter persegi/orang atau satu hektar untuk tiap 100 orang penghuni;
2.   Pertimbangan kasus dimana RTH dibangun oleh proyek persesuaian lahan, yang dapat dilaksanakan, baik oleh organisasi umum atau oleh konsorsium kepemilikan tanah. Bagaimanapun juga dalam peraturan umum, penguasaan tapak tidak akan terjadi, kecuali apabila diproses sebagai lahan yang suatu saat dapat diplot kembali sebagian atau sleuruhnya untuk kepentingan umum. Dalam hubungannya dengan peraturan, tapak untuk RTH disediakan bagi kelompok masyarakat umum, setelah sebelumnya tapak dipersiapkan. Menurut aturan, biaya proyek diatasi dengan mengatur lahan cadangan pada area yang dipertimbangkan tersebut dan dengan subsidi proyek yang telah diciptakan pada berbagai macam tipe RTH, seperti taman lingkungan untuk memenuhi kebutuhan sosialisasi dan rekreasi masyarakat sekitar;
3. Mempertimbangkan arti perlunya proyeksi sebuah area kosong dan terbuka untuk umum, maka perencanaan RTH kota, misalnya harus dilakukan melalui sistem perancangan menyeluruh termasuk struktur bangunan di dalamnya. Bila ruang terbuka tersebut cukup luas dan berada dalam konstruksi tapak, maka sistem ini memungkinkan perancangan bangunan untuk mempertimbangkan pula multi-gunanya, dan dengan maksud untuk meningkatkan pemeliharaan lingkungan wilayah kota, dan untuk pembatasannya, perlu pengaturan rasio area dasar (floor area ratio). Pembatasan di atas tidak formal karena tujuannya adalah pada efek peningkatan ukuran (disebut tipe praktis efek pembatasan). Tujuan lain adalah agar ada sistem bonus (insentif) dari suatu sistem yang dapat menyediakan besaran ukuran area dasar utama, pada tempat-tempat di mana terdapat lahan kosong yang terbuka. Karena banyaknya penguasa di wilayah kota yang mencari ‘bonus’ semacam ini, maka akibat positifnya adalah lahan losong terbuka tersebut dapat terpelihara dan mungkin bisa bebas sewa dan pajak (free tax). Dilihat secara nasional, seseorang dapat mengatakan bahwa Osaka adalah kota di mana disajikan banyak contoh dari aplikasi sistem tersebut;
4.Mendemonstrasikan penggunaan sistem peraturan bangunan dan peraturan penghijauan, di mana kedua-duanya juga tetap didasarkan pada hukum. Dengan demikian dimaksudkan agar dalam area khusus ini pemilik tanah dapat, memberi tanda sesuai persetujuan secara sukarela (voluntary) atau ijin khusus untuk menuai keuntungan dari pengelolaan tapak kosong yang berada, misalnya di sepanjang jalur jalan, jalur badan air, dan sebaginya.

Semua kemungkinan adanya pendekatan berdasar ukuran-ukuran (1-4) di atas, dapat digunakan sebagai referensi dalam hubungannya dengan pembangunan area, di mana investasi umum terbatas: 15-20 persen untuk jalan, dimana tiga persen bagian lahan harus dicadangkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian untuk tapak bangunan tinggal 80 persen (atau 50-70 persen), karena itu maka rasio area dasar untuk bangunan dapat dinaikkan.
Sistem perancangan komprehensif untuk bangunan, telah diaplikasikan pada konstruksi dari semua bangunan wilayah. Lahan terbuka yang kosong disisihkan dan dipertimbangkan bagi peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota. Untuk alasan inilah, yang berlawanan dengan rasio ruang lantai dasar yang dirancang sebesar 40 persen, maka rasio ruang lantai dapat mencapai 10-20 persen di atas ukuran yang disyaratkan tersebut. Hal ini telah dianggap sebagai suatu peningkatan bonus yang penting bagi peningkatan persepsi masyarakatnya.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger