Home » » Peran Stakeholders dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Terbuak Hijau (RTH)

Peran Stakeholders dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Terbuak Hijau (RTH)

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 16 November 2013 | 07.56



Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang tata ruang, menyatakan bahwa penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat merupakan hal yang sangat penting dalam penataan ruang karena pada akhirnya hasil penataan ruang adalah untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat serta untuk tercapainya tujuan penataan ruang. Masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam penataan ruang, menjalankan peranannya dan mendayagunakan kemampuannya secara aktif sebagai sarana untuk mencapai tujuan penataan ruang khususnya terkait kepentingan publik yakni RTH.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan menyatakan bahwa penyediaan atau pengadaan tanah untuk keperluan Ruang Terbuka Hijau Kota dilaksanakan melalui tata cara penguasaan tanah baik perseorangan maupun Badan Hukum yang tanahnya dalam keadaan terlantar dan atau digunakan, dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota selain dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, juga menuntut peran serta swasta dan masyarakat. Peran partai politik (DPRD) menduduki posisi strategis dalam pengembangan visi lingkungan karena mitra kerja dalam pembahasan anggaran (APBD). Sebaik apa pun visi lingkungan Kepala Daerah, tidak akan tercapai tanpa dukungan penganggaran bersama dalam pembangunan hijau. Dalam Inmendagri tersebut juga mewajibkan Pemerintah Daerah menyediakan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta mendorong dana dan swadaya ini untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota. Pengelolaan RTH harus berbasis masyarakat, dengan diikutkan secara aktif diharapkan pembangunan lingkungan akan berhasil.
Masyarakat dapat mendorong munculnya APBD Pro Lingkungan (APBD Hijau/Green budgeting). Anggaran biaya untuk lingkungan hidup dalam APBD ditingkatkan paling tidak menjadi 10 persen atau lebih, tidak hanya sekedar di bawah nilai 1 persen saja. Sebagai pembanding, alokasi biaya untuk lingkungan di Jerman adalah 6 persen, di Vietnam 5 persen (Sobirin, 2010). Perlu upaya mengeksplorasi berbagai sumber dana untuk pengelolaan lingkungan, antara lain disamping dari APBN dan APBD, juga dari Program Investasi Publik (Public Private Participatrion), User Charges, dana investasi lingkungan, model tarif, pajak dan retribusi. Sistem reward and punishment bisa pula sebagai upaya pemulihan lingkungan hidup.
Prinsip tersebut seiring dengan Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996 yang mengedepankan Pemerintah sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku atau stakeholders utama pembangunan. Peraturan pemerintah tersebut mengatur tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang termasuk tingkatan kewenangan hirarki Pemerintahan dari tingkat Nasional, tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Pembangunan kawasan perkotaan memerlukan keterpaduan, kesinambungan, dan kerja sama pembangunan perkotaan untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, dan sinergitas dalam penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat dan pelestarian ekosistem (Permendagri No. 69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan). Kerja sama pembangunan perkotaan adalah kesepakatan antar kepala daerah yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di dalam pelaksanaan pembangunan perkotaan.
Pemerintah Daerah mengendalikan seluruh kegiatan pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota dengan tidak memberikan ijin perubahan penggunaan Ruang Terbuka Hijau Kota untuk kepentingan/peruntukan lainnya. Pemerintah Daerah wajib melakukan pengendalian secara ketat tentang pemberian dan pencabutan ijin pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kota (Inmendagri No 14 tahun 1988). Diharapkan peran masyarakat untuk melakukan pengawasan pembangunan yang lebih intensif sehingga deviasi tata ruang dan marjinalisasi RTH Kota dapat dikendalikan sejak awal.
RTRW menjadi instrumen penting untuk membela kepentingan masyarakat kota yang terpinggirkan oleh pembangunan yang kurang menghitungkan ruang fisik/lahan yang tersedia tanpa memahami lebih jauh kepentingan manusia yang menempati ruang-ruang di perkotaan khususnya RTH. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan masyarakat dalam kebijakan berbasis sosial yaitu :
1. Skala ekonomi dari alokasi anggaran, urusan atau program yang dianggarkan harus memiliki cukup pengaruhnya terhadap seluruh kegiatan ekonomi;
2.    Ruang lingkup ekonomi dari kegiatan yang dibiayai oleh anggaran publik;
3.    Untung rugi secara sosial mempertimbangkan dampak jangka panjang;
4.  Keuntungan harus berpihak pada bagian terbesar masyarakat yang terpinggirkan atau yang tidak berdaya dalam persaingan pasar yang bebas;
5. Acuan konsumen merupakan dasar pertimbangan dalam menyusun belanja bagi kegiatan pemerintah.

Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger