Home » » Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota

Pertumbuhan Penduduk dan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Kota

Written By Tasrif Landoala on Sabtu, 16 November 2013 | 07.39



Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari jumlah penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak, 2006). Fenomena pertumbuhan penduduk tersebut memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga perlu mendapat perhatian khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka publik.
Kualitas dan kuantitas ruang terbuka publik, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir mengalami penurunan yang sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35 persen pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10 persen pada saat ini. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2 (Dardak, 2006).
Kepmen PU No. 378 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedangkan untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Secara keseluruhan kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa (Purnomohadi, 2006), agar dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem, dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (sosial-ekomomi), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetika).
Issue berkaitan dengan ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor (Dardak, 2006). Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Pentingnya fungsi tanaman di area ruang terbuka publik di daerah tropis lembab antara lain untuk perlindungan terhadap panas terik matahari. Selain itu, untuk memproduksi O2, mengurangi debu yang meliputi kota (urban dust dome), mengurangi panas lingkungan (untuk foto sintesis menyerap panas matahari satu persen, pohon berdaun lebat dapat merefleksikan panas matahari sampai 75 persen). Dalam kaitannya dengan ruang terbuka hijau vegetasi memiliki berbagai fungsi antara lain untuk keindahan dan kenyamanan (Hardiman, 2008).


Kondisi ekologis kota yang buruk secara ekonomis dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu, dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal diantara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Sementara itu, secara teknis issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholders dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.
Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Pemerintah kota, investor, pengembang (developer) dan masyarakat luas masih belum banyak menyentuh perancangan ruang terbuka hijau kota. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah). Secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat mengelola RTH secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat rendah dalam penyelenggaraan RTH, sehingga pemerintah selalu terbentur pada masalah keterbatasan pendanaan.
Pengelolaan RTH kota yang baik seyogyanya dapat bersinergi antara pemerintah kota, masyarakat dan swasta. Dengan memperhatikan aspek-aspek diatas diharapkan kualitas ruang terbuka hijau yang dirancang akan lebih baik dan berkesinambungan. Untuk mencegah pergeseran ruang terbuka hijau kota yang semakin tidak jelas, diperlukan pengendalian melalui pengelolaan yang mempertimbangkan aspek pelestarian. Upaya pelestarian (mempertahankan) ruang terbuka hijau merupakan suatu usaha pembangunan yang berbasis budaya-ekologi-masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jika kota dapat mempertahankan penghuni ruang kota yang berkultur tradisionalistik dan berbudaya ekologi. Pencapaian target RTH perlu disusun dalam bentuk masterplan, hingga tatanan kegiatannya (waktu, lokasi, dan biaya yang diperlukan), secara jelas tertuang dalam rencana. Upaya lain yang harus dilakukan adalah peningkatan kinerja institusi terkait, termasuk unit-unit pelaksana teknis pembangunan kawasan hijau. Rendahnya mutu kualitas pembangunan kawasan hijau, dapat ditingkatkan melalui peningkatan kualitas jenis dan pemulihan habitat. Tatanan prioritas pembangunan kawasan hijau berdasarkan alokasi lahan, bantaran sungai menjadi prioritas utama, diikuti oleh kawasan penyangga situ-situ. Strategi pencapaiannya, dilakukan melalui koordinasi baik dalam pelaksanaan program, serta dalam evaluasi dan monitoring hasil-hasil pembangunan kawasan hijau secara berkelanjutan.
Untuk meningkatkan pengamanan terhadap hasil-hasil pembangunan kawasan hijau, nampaknya pemberdayaan pembangunan pagar hijau perlu dilakukan, termasuk penyediaan sarana fasilitas pemeliharaan (penyiraman) secara efisien. Keterkaitannya dengan pendanaan, pemberdayaan stakeholders melalui kompensasi lingkungan bagi pemilik kendaraan bermotor perlu dilakukan, dan dipayungi dalam bentuk Perda. Salah satu upaya lain yang dapat diterapkan dalam rangka untuk mengurangi beban perkotaan adalah dengan mengembangkan daerah perdesaan agar arus urbanisasi ke perkotaan dapat diturunkan seperti misalnya dengan mengembangkan kawasan agropolitan (Dardak, 2006). Selain itu, untuk mendukung kota yang sudah berkembang menjadi sangat besar (metropolitan) yang notabene mempunyai berbagai permasalahan yang sangat kompleks perlu dikembangkan kota-kota satelit disekitarnya dengan mengemban fungsi-fungsi tertentu dan juga dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memadai sehingga mampu menarik sebagian penduduk yang semula berorientasi ke kota inti sehingga beban kota inti menjadi berkurang.
Permasalahan yang sering muncul dalam pembangunan di suatu kawasan adalah tumpang tindihnya penggunaan peruntukan lahan dan atau pembangunan yang tidak mengikuti ketentuan peruntukan lahan yang telah ditetapkan dalam tata ruang daerah. Penataan RTH pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah yang bertujuan untuk mendukung beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat (aspek ekonomi dan sosial) dan lingkungan hidup (aspek ekologi). Pengalokasian RTH memberikan jaminan terpeliharanya ruang yang berkualitas dan mempertahankan keberadaan obyek-obyek ruang terbuka hijau sebagai aset yang dapat dinikmati bersama. Dalam pengembangan kegiatan pembangunan ekonomi diperlukan pengaturan-pengaturan alokasi ruang yang dapat menjamin pembangunan berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam penataan ruang berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Sebagaimana diketahui bahwa rencana tata ruang kota yang berisi rencana penggunaan lahan perkotaan, menurut peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam rencana umum tata ruang kota, yang merupakan rencana jangka panjang: rencana detil tata ruang kota, sebagai rencana jangka menengah, dan rencana teknis tata ruang kota, untuk jangka pendek. Ketiga jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan gambar-gambar yang sudah pasti (blue print) (Sunardi, 2004). Kelemahan penyelenggaraan penataan ruang selama ini terletak pada ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan implementasinya. Hal ini disebabkan lemahnya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang. Kedepan diharapkan tidak hanya penawaran insentif dan disinsentif tetapi juga belanja lahan RTH untuk merangsang kesadaran terhadap prinsip tata ruang. Bila fenomena tersebut tidak dijadikan bahan kebijakan maka mustahil pembangunan akan berkelanjutan sebagaimana diharapkan generasi berikutnya.
Pembangunan berkelanjutan dipopulerkan melalui laporan Our Common Future yang disiapkan oleh World Commission on Environment and Development (Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan) tahun1987, yang dikenal dengan nama Komisi Bruntland. Isu utama yang disetujui oleh komisi tersebut adalah bahwa pada kenyataannya banyak kegiatan pembangunan telah mengakibatkan banyak kemiskinan dan kemerosotan serta kerusakan lingkungan. Persoalan lingkungan dunia telah ditetapkan sebagai isu utama pembangunan. Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, ekologi dan sosial. Pilar ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasiskan penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem dunia. Pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem sosial budaya, meliputi penghindaran konflik keadilan, baik antar generasi masa kini dengan generasi mendatang.
Secara positif, pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa kini, tanpa mengurangi hak dan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Karena itu pembangunan berkelanjutan adalah suatu program aksi untuk mereformasi ekonomi global dan ekonomi lokal, sebuah program yang masih harus didefinisikan lebih lanjut. Tantangan model pembangunan baru ini adalah mengembangkan, menguji dan menyebarkan cara-cara untuk mengubah proses pembangunan ekonomi yang tidak menghancurkan ekosistem, kata kuncinya saving as percentage of gdp = or more than depreciation of human knowledge + depreciation of human made capital + depreciation of natural capital (Haeruman, 2010). Terdapat 7 komponen pembangunan berkelanjutan yaitu :
1.    Prinsip dasar piagam bumi (normatif dan sistem nilai);
2.    Kesepakatan global (partisipatif dan lintas pelaku);
3.    Rencana tindak (RPJP/D, RPJM, Propeda);
4.    Prioritas dan strategi (renstra dan kebijakan pembangunan);
5.  Sistem pengelolaan pembangunan (proses perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan);
6.    Sistem kelembagaan (organisasi dan tata cara); dan
7.    Instrumen pengatur (sistem hukum,etika dan pasar).

Kesepakatan global yang tertuang dalam deklarasi pembangunan berkelanjutan di Johanesburg adalah membangun masyarakat global yang manusiawi, berkeadilan dan bersama melaksanakan visi masa depan kemanusiaan; memberantas kemiskinan dan menerapkan pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan; multilateralisme adalah masa depan. Rencana tindak pembangunan berkelanjutan disusun rencana pemberantasan kemiskinan, perubahan pola konsumsi dan produksi yang meliputi energi, transportasi, pengelolaan limbah dan pengelolaan siklus hidup bahan kimia. Disamping itu, disusun pula rencana perlindungan dan pengelolaan sumber alam, pengembangan global dari pembangunan berkelanjutan dan kesehatan serta pembangunan berkelanjutan. Pola pengelolaan pembangunan berkelanjutan terdiri dari 4 bagian, yaitu :
1.    Pola pengambilan kebijakan yang meliputi kebijakan, programming dan pembiayaan;
2.    Produksi/konsumsi yang meliputi outcome, output, dan input;
3.  Indikator pengendali yang meliputi dampak produksi/konsumsi dan biaya depresiasi nilai; serta
4. Alat pemantau yang meliputi evaluasi, audit nilai ekonomi/sosial/lingkungan, dan audit finansial (Haeruman, 2010).

Instrumen pengatur, dalam peraturan perundangan perlu diserasikan antara kewenangan, tanggung jawab, dan indikator kinerjanya. Mekanisme pasar yang berkaitan dengan harga sebagai indikator kelangkaan yang tepat perlu dipertimbangkan disamping sistem tata nilai sosial, adat dan budaya yang diperlukan untuk mengembangkan pembangunan berbasis masyarakat.
Tidak seorangpun betul-betul memahami dengan tepat, bagaimana dan bilamana pembangunan berkelanjutan dapat dicapai. Dengan demikian pengembangan konsensus di tingkat lokal harus dilakukan, sebagai dasar bagi pencapai pembangunan berkelanjutan di tingkat global. Di tingkat lokal, pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi harus mendukung kehidupan dan penguatan komunitas, dengan mendayagunakan bakat dan sumberdaya masyarakat setempat. Dengan demikian, upaya berikutnya adalah mendistribusikan hasil-hasil pembangunan secara merata dan adil kepada berbagai kelompok sosial dalam jangka panjang. Semua itu hanya mungkin dilakukan jika bisa dicegah agar aktivitas pembangunan ekonomi tidak menghacurkan sumberdaya alam dan kualitas ekosistem.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger