Dampak
adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat suatu aktivitas. Aktivitas
tersebut dapat bersifat alamiah, baik kimia, fisik maupun biologi (Soemarwoto,
2001). Aktifitas pembangunan akan menghasilkan dampak, baik pada manusia
ataupun lingkungan hidup. Dampak terhadap manusia yakni meningkat atau
menurunnya kualitas hidup manusia, sedangkan dampak bagi lingkungan yakni
meningkat atau menurunnya daya dukung alam yang akan mendukung kelangsungan
hidup manusia (Wardhana, 2001).
Identifikasi
dampak merupakan langkah yang sangat penting. Langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam mengidentifikasi dampak adalah: a) menyusun berbagai dampak
yang menonjol yang diperkirakan akan timbul, dan b) menuliskan semua aktivitas
pembangunan yang menimbulkan dampak sebagai sumber dampak (Fandeli, 2004).
Pembangunan
merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya, guna
meningkatkan mutu kehidupan rakyat (Kuncoro, M, 2003). Sedangkan menurut Tadaro
dalam (Munir, 2002) menyatakan bahwa pembangunan merupakan proses menuju
perbaikan taraf kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan bersifat dinamis.
Suatu
kota dikembangkan berdasarkan pada potensi yang dimiliki oleh kota tersebut.
Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan
suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota dalam konstelasi regional
atau wilayah yang lebih luas, sehingga memiliki kemampuan untuk menarik
perkembangan dari daerah sekitarnya. Faktor internal adalah kekuatan suatu kota
untuk berkembang dan ditentukan oleh keuntungan letak geografis (fungsi kota).
Reksohadiprojo
(2001), menyatakan bahwa perkembangan suatu kota juga dipengaruhi oleh
perkembangan dan kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan karena perkembangan kota
pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan ekonomi. Beberapa aspek yang
dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu kota, yaitu:
a. Perkembangan
penduduk perkotaan menunjukan pertumbuhan dan intensitas kegiatan kota,
b. Kelengkapan
fasilitas yang disediakan oleh kota dapat menunjukan adanya tingkat pelayanan
bagi masyarakatnya,
c. Tingkat
investasi yang hasilnya dapat menunjukan tingkat pertumbuhan kota hanya dapat
tercapai dengan tingkat ekonomi yang tinggi.
Perkembangan kota
juga dapat ditinjau dari peningkatan aktivitas kegiatan sosial ekonomi dan
pergerakan arus mobilitas penduduk kota yang pada gilirannya menuntut kebutuhan
ruang bagi permukiman, karena dalam lingkungan perkotaan, perumahan menempati
persentase penggunaan lahan terbesar dibandingkan dengan penggunaan lainnya,
sehingga merupakan komponen utama dalam pembentukan struktur suatu kota (Yunus,
2000).
A. Aspek
Fisik
Dampak dari upaya
pengembangan suatu kota yang dilakukan berdasarkan pada peran dan fungsi kota
melalui suatu kebijakan pembangunan kota pada aspek fisik dapat meliputi
meningkatnya intensitas penggunaan lahan kota, meningkatnya penyediaan sarana
dan prasarana kota, serta menurunnya kualitas lingkungan kota (Bintarto dalam
Khairuddin, 2000).
1. Penggunaan
Lahan
Suatu kota yang
berdasarkan fungsi ditetapkan sebagai kawasan pengembangan industri melalui
kebijakan pengembangan kota, akan membutuhkan lahan yang digunakan sebagai
lahan industri, lahan permukiman, lahan untuk sarana dan parasarana kota
sebagai pendukung (Jayadinata, 1992).
Sebagai kota
industri, lahan untuk industri serta kegiatan pendukungnya harus disediakan
dalam bentuk terpusat atau terpisah-pisah. Selaras dengan perkembangan kota dan
aktivitas penduduknya maka lahan di kota terpetak-petak sesuai dengan
peruntukannya. Jayadinata (1992), mengemukakan bahwa tata guna tanah perkotaan
menunjukkan pembagian dalam ruang dan peran kota. Sedangkan menurut Sandy
(1977), dikatakan bahwa penggunaan lahan perkotaan diklasifikasikan sebagai
berikut: a) lahan permukiman, meliputi perumahan termasuk pekarangan dan
lapangan olah raga, b) lahan jasa, meliputi perkantoran pemerintah dan swasta,
sekolahan, puskesmas dan tempat ibadah, c) lahan perusahaan yang meliputi
pasar, toko, kios dan tempat hiburan, dan d) lahan industri yang meliputi
pabrik dan percetakan.
Chappin (1979),
menyatakan bahwa pada dasarnya penggunaan lahan berkaitan dengan sistim
aktivitas antara manusia (individu dan rumah tangga) dan aktivitas institusi
(swasta dan lembaga pemerintah) yang masing-masing berbeda dalam kepentingan
sehingga mengakibatkan terciptanya pola-pola keruangan dalam suatu kota.
Perkembangan kota secara fisik dapat dicirikan dari pertambahan penduduknya
yang semakin padat, bangunan yang semakin rapat dan wilayah terbangun, terutama
permukiman yang cenderung meluas, serta lengkapnya fasilitas kota yang mendukung
kegiatan sosial ekonomi.
Perkembangan kota
menurut Bintarto (dalam Khairuddin, 2000), mempunyai dua aspek pokok yakni
aspek yang menyangkut perubahan-perubahan yang dikehendaki oleh warga kota dan
kemudian menyangkut perluasan kota. Aspek perubahan yang dikehendaki oleh warga
kota lebih merupakan pemenuhan kebutuhan prasarana dan fasilitas hidup di kota.
Pembangunan perkotaan umumnya sangat menekankan pada segi fisik, seperti
pembangunan prasarana kota dan perluasan wilayah kota.
Faktor yang bersifat
ekonomi merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan
kota. Perkembangan ekonomi di suatu kota akan menimbulkan multi efek terhadap
bidang lainnya, seperti tumbuhnya industri pendukung, transportasi, jasa-jasa,
perumahan dan fasilitas kota yang kesemuanya membutuhkan ruang yang tidak
sedikit (Khairuddin, 2000).
Sutanto (1977),
menyatakan bahwa penggunaan lahan diklasifikasikan menjadi: a) lahan
permukiman, b) lahan perdagangan/jasa, c) lahan pertanian, d) lahan industri,
e) lahan rekreasi, f) lahan ibadah dan g) lahan lainnya.
2. Sarana
dan Prasarana
Usaha untuk
memperbaiki kondisi lingkungan sebagai tempat hidup manusia yang layak akan
bertitik tolak pada pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana. Karena
kurangnya penyediaan sarana dan prasarana tersebut, maka diperlukan adanya
peningkatan dan jumlah sesuai dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana tersebut
meliputi perumahan, air minum, listrik, fasilitas pendidikan, fasilitas sosial
lainnya dan jaringan jalan (Ilhami, 1988).
Menurut Organisation
for Economic Coorporation and Development (dalam Sihono, 2003), komponen dari
prasarana perkotaan terdiri dari tujuh macam yaitu air bersih, drainase, air
kotor/sanitasi, sampah, jalan kota, jaringan listrik dan jaringan telepon
dimana tiap-tiap komponen mempunyai karakteristik yang berbeda.
Untuk menunjang kegiatan
utama disektor industri, maka pemerintah juga harus menyediakan sarana dan
prasarana berupa infrastruktur yang memadai. Muliono (2001), menyatakan bahwa
penyediaan sarana dan prasarana yang lengkap berperan penting dalam usaha
menarik investasi pada suatu daerah. Prasarana kota tersebut mencakup jaringan
jalan, pelabuhan laut, bandara, air bersih, listrik, dan telekomunikasi.
Dari segi kuantitas,
penyediaan sarana prasarana kota perlu seimbang dengan jumlah penduduk kota
yang ada. Sedangkan dari segi kualitas, sarana prasarana kota yang disediakan
tersebut harus bisa melayani masyarakat secara baik, dengan sebaran jangkauan
pelayanan yang dapat dan mudah dijangkau seluruh masyarakat (Ilhami, 1988).
3. Lingkungan
Hidup
Perkembangan Pulau Batam sebagai daerah
industri telah memacu perkembangan kegiatan pembangunan disektor lainnya.
Kegiatan tersebut antara lain adalah dengan tumbuh pesatnya kawasan industri,
permukiman, perdagangan dan penyediaan fasum serta fasos bagi penduduk Pulau
Batam. Wardhana (2001), menyatakan perkembangan industri yang pesat ternyata
membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya dapat meningkatkan
kualitas hidup manusia namun dampak negatifnya dapat menurunkan kualitas dan
kenyamanan hidup baik manusia maupun lingkungan.
Setiap proses pembangunan tentu akan
mempengaruhi keseimbangan lingkungan (Tjahyadi dalam Supriyanta, 2002). Pembangunan
yang semakin meningkat akan mendesak sumber daya dan ruang. Akibatnya dalam
penggunaan ruang dan lahan untuk kegiatan pembangunan banyak menimbulkan
berbagai masalah seperti:
a. Menurunnya
mutu lingkungan hidup karena pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan
kemampuan daya dukung alam atau pemanfaatan yang berlebihan dan bahkan merusak,
baik dalam jangka pendek maupun panjang,
b. Banyak
kawasan yang seharusnya berfungsi lindung dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan
yang mengganggu fungsi lindung tersebut,
c. Adanya
benturan kepentingan dalam penggunaan lahan, karena beberapa pihak sama-sama
merasa lebih berhak menggunakan kawasan tersebut,
d. Adanya
perkembangan kota dan permukiman baru yang tak terkendali telah menimbulkan
permasalahan di kawasan itu maupun kawasan lain.
Walaupun pembangunan diperlukan untuk
mengatasi berbagai masalah, namun pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan
dapat dan telah mempunyai dampak negatif terhadap perobahan rona lingkungan.
Pencemaran dan pengrusakan lingkungan adalah dua resiko yang tidak dapat
dihindari dalam rangka menjalankan pembangunan. Wardhana (2001),
menyatakan bahwa proses pembangunan dan industrialisasi yang
dilaksanakan, secara meluas telah menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Pencemaran lingkungan, polusi udara, kerusakan hutan, pencemaran
air, bencana alam dan lain-lain merupakan efek samping dari hasil pembangunan
tersebut.
Moeljarto dalam Kuncoro (2003),
menjelaskan keberhasilan paradigma pembangunan mencapai pertumbuhan ekonomi
yang tinggi telah membawa berbagai akibat negatif. Momentum pembangunan yang
dicapai dengan pengorbanan pada aspek ekologis, penyusutan sumber daya,
timbulnya kesenjangan sosial dan tingkat dependensi.
Pertumbuhan kota dengan diiringi
penduduk yang besar bagaimanapun akan membutuhkan area yang lebih besar,
sehingga akan menimbulkan permasalahan dengan alam. Pembangunan kota harus
memperhatikan alam dan lingkungan sebagaimana konsep E. Howard dengan Garden
City-nya. Kota besar bukanlah tempat yang cocok untuk tempat tinggal jika
persoalan lingkungan diabaikan, karena bagaimanapun alam merupakan unit
terpenting bagi kelangsungan aktivitas kota (Salim, 1997).
Dalam pengelolaan lingkungan pandangan
kita bersifat antroposentris, yaitu melihat permasalahan dari sudut kepentingan
manusia. Walaupun unsur lain juga diperhatikan, namun perhatian itu secara
eksplisit dan implisit dihubungkan dengan kepentingan manusia (Soemarwoto,
2001).
Yang mencemaskan adalah bahwa
penyusutan luas dan rusaknya hutan nampaknya tidak menimbulkan kerisauan yang
mendalam dikalangan masyarakat luas dan terus berjalan, walaupun ada protes
dari kalangan tertentu, khususnya LSM (Soemarwoto, 2001). Beliau juga
menyatakan bahwa suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa kawasan yang dilindungi
umumnya masih dinilai rendah, sekalipun keuntungan semata mata adalah sebanding
atau mungkin lebih bila dibandingkan dengan pola penggunaan tanah lainnya.
B. Aspek
Sosial
1. Penduduk
Pertambahan penduduk biasanya dikaitkan
dengan tingginya arus urbanisasi yang masuk kedaerah tersebut. Khairuddin
(2000), menyatakan bahwa urbanisasi selain berdampak positif juga berdampak
negatif. Dampak positif dari urbanisasi itu diantaranya: 1) urbanisasi
merupakan faktor penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan, 2) urbanisasi merupakan suatu cara untuk menyerap pengetahuan dan
kemajuan yang ada di kota, 3) urbanisasi yang menyebabkan terjadinya
perkembangan kota. Urbanisasi juga menimbulkan dampak negatif. Urbanisasi telah
menimbulkan kelebihan penduduk sehingga melebihi daya tampung kota.
Permasalahan ini akan berkembang pada sektor kehidupan lainnya, seperti
perumahan, pencemaran lingkungan, penganguran, kriminalitas dan sebagainya,
sehingga menimbulkan persoalan yang semakin rumit dan saling berkaitan satu
sama lain.
Tingginya kepadatan penduduk akan
menimbulkan masalah daya dukung kota dalam bentuk tidak seimbangnya antara
ruang/tanah yang dibutuhkan dengan penduduk yang ada. Masalah permukiman
selanjutnya merupakan salah satu sebab timbulnya lingkungan hidup yang tidak
sehat, berupa permukiman liar dan perkampungan kumuh (slum). Bintarto (dalam
Khairuddin, 2000), mencirikan daerah slum ini sebagai berikut: 1) didiami oleh
warga kota yang gagal dalam bidang ekonomi, 2) lingkungan yang tidak sehat, 3)
banyak didiami oleh penganggur 4) penduduk daerah ini emosinya tidak stabil,
dan 5) penduduk daerah ini dihinggapi oleh banyak kebiasaan yang bersifat
negatif.
Todaro (dalam Kuncoro, 2003),
menyatakan bahwa ketimpangan ekonomi antara daerah asal dengan daerah tujuan
menjadi penyebab timbulnya migrasi, sehingga terdapat kaitan erat antara
migrasi dan aspek ekonomi, khususnya migrasi tersebut dilakukan dengan tujuan
untuk mencari pekerjaan.
Pembangunan telah memunculkan berbagai
aktivitas ekonomi ikutan (sektor informal), terutama di wilayah perkotaan dan
dampak dari perkembangan tersebut menyebabkan timbulnya permasalahan
kependudukan, permukiman, penataaan lingkungan perkotaan dan lahan hijau
(Kuncoro, 2003). Apabila permasalahan pembangunan di wilayah perkotaan
tergambar dari dampak ikutan dari pembangunan itu sendiri seperti terjadinya
pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyediaan utilitas publik dan lapangan
kerja, berkembangnya permukiman liar dan sektor informal yang tidak tertata,
degradasi lahan tangkapan air hujan dan ekosistem lainnya, merangsang
terjadinya lonjakan angka kriminalitas dan kemungkinan konflik berbasis ekonomi
dan sosial.
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai
pengaruh penduduk pada pembangunan. Pertama adalah pandangan pesimis yang
berpendapat pertumbuhan penduduk yang pesat dapat mendorong terjadinya
pengurasan sumberdaya, kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan, kehancuran
ekologis yang kemudian dapat memunculkan masalah sosial. Kedua adalah pandangan
optimis yang berpendapat penduduk adalah aset yang memungkinkan untuk mendorong
pengembangan ekonomi dan promosi teknologi dan institusional sehingga dapat
mendorong perbaikan kondisi sosial (Thomas dalam Kuncoro, 2003).
Fandeli (2004), mengatakan bahwa pertambahan
penduduk yang terus terjadi dengan cepat meyebabkan beberapa masalah lingkungan
yaitu: a) proses urbanisasi akan terjadi sehingga menyebabkan persoalan
pencemaran di wilayah perkotaan, b) tekanan penduduk terhadap lahan akan
semakin tinggi, akibatnya terjadi sedimentasi dan erosi, dan c) tekanan
penduduk terhadap kawasan hutan, meyebabkan menurunnya kualitas hutan yang
menyebabkan erosi dan banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.
Irawan dan Suparmoko, (2002),
mengatakan bahwa penduduk memiliki dua peranan dalam pembangunan ekonomi. Oleh
karena itu perkembangan penduduk yang cepat tidaklah selalu merupakan
penghambat bagi jalannya pembangunan ekonomi jika penduduk ini mempunyai
kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan dan menyerap hasil produksi yang
dihasilkan. Pertambahan penduduk akan mengakibatkan rangsangan untuk mengadakan
investasi dan permintaan agregasif juga akan naik, begitu juga sebaliknya.
Peningkatan jumlah penduduk juga mendorong adanya perluasan investasi karena
adanya kebutuhan perumahan yang semakin besar dan juga kebutuhan yang bersifat
umum seperti penyedian sarana prasarana serta berbagai fasilitas sosial dan
fasilitas umum.
Hal berbeda dinyatakan Kuncoro (2003),
bahwa pertambahan penduduk yang pesat dapat memperlemah intensitas investasi
disektor pelayanan publik dan sebagai konsekuensinya kualitas perbaikan pelayan
publik semakin sulit dicapai sehingga kondisi sosial masyarakat sulit mengalami
perbaikan.
2. Tenaga
Kerja
Kemajuan pembangunan di Pulau Batam
telah memberi dampak positif berupa peluang berusaha yang mempengaruhi pula
aspek sosial dan ketenagakerjaan. Sukirno (dalam Khairuddin, 2000) menyatakan
bahwa dilihat dari sisi peluang, pertumbuhan ekonomi telah menciptakan
banyaknya peluang usaha baru bagi masyarakat. Namun permasalahan juga muncul
akibat daya pikat ekonomi yang mendorong migrasi tenaga kerja dari luar yang
tidak selalu dibekali keahlian yang memadai.
Arsyad (1999), mengatakan pertambahan
penduduk akan menimbulkan berbagai masalah dan hambatan bagi upaya pembangunan
yang dilakukan karena pertambahan penduduk yang tinggi akan menyebabkan
cepatnya pertambahan jumlah tenaga kerja, sedangkan kemampuan dalam menciptakan
lapangan pekerjaan baru sangat terbatas. Keadaan ini akan menyebabkan jumlah pengangguran
yang semakin lama semakin serius.
Dalam pembangunan industri pasti
terjadi berbagai eksternalitas dari industri tersebut. Pulau Batam sebagai
daerah industri diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Penyerapan tenaga kerja ini memang terjadi, tetapi sayangnya lebih banyak
tenaga kerja yang berasal dari luar Batam. Hal ini dapat terjadi karena tenaga
lokal banyak yang tidak memiliki keterampilan maupun tingkat pendidikan yang
disyaratkan. Disamping itu banyak pula penduduk setempat yang merasakan
adanya penurunan kualitas lingkungan akibat beroperasinya industri tersebut.
Jadi bila diamati, maka manfaat eksternal lebih banyak dinikmati oleh orang
luar (Irawan dan Suparmoko, 2002).
Tood (dalam Bahrum, 1995), menyatakan
keberadaan pusat industri pada suatu wilayah perlu memperhatikan berkembangnya
lapangan kerja lain (non industri) secara tak langsung karena jumlah tenaga
kerja langsung biasanya jauh lebih kecil dari tenaga kerja tak langsung. Ciri
tenaga kerja tak langsung tersebut adalah lapangan kerja sektor informal. Untuk
itu industrialisasi di Pulau Batam idealnya penciptaan lapangan kerja tidak
langsung baru tumbuh apabila terdapat kaitan antara industri baik kaitan ke depan
maupun kaitan ke belakang.
3. Masalah
Sosial
Disamping kerusakan lingkungan yang
bersifat biofisik terdapat pula kerusakan lingkungan sosial budaya. Orang desa
yang bermigrasi ke kota biasanya mempunyai pendidikan yang rendah dan tidak
terampil sehingga mereka susah untuk ditampung bekerja dengan upah layak
sehingga tidak sedikit dari mereka yang terperangkap kedalam profesi
prostitusi. Pengangguran, kurang makan dan prostitusi merupakan media yang
subur untuk berkembangnya kejahatan (Soemarwoto, 2001).
Idealnya sebelum aktivitas pembangunan
di Pulau Batam berkembang pesat, perlu penyiapan masyarakat lokal baik dalam
upaya merebut lapangan kerja, memasarkan produksi dan menangkal dampak negatif
dari industrialisasi, karena bagaimanapun juga proses industrialisasi juga
memuat problemnya sendiri seperti munculnya penyakit sosial yang terus tumbuh
dan berkembang seperti pelacuran, penggunaan narkoba dan perjudian (Bahrum,
1995).
C. Aspek
Ekonomi
1. Pertumbuhan
Ekonomi
Kuncoro (2003), mengatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang merupakan indikator keberhasilan suatu pembangunan
seringkali digunakan untuk mengukur kualitas hidup manusia, sehingga semakin
tinggi nilai pertumbuhan ekonomi maka semakin tinggi pula taraf hidup manusia.
Sedangkan (Arsyad, 1999) mengatakan bahwa pendapatan per kapita digunakan
sebagai indikator pembangunan selain untuk membedakan tingkat kemajuan ekonomi
antara negara maju dengan negara sedang berkembang. Dengan kata lain pendapatan
per kapita selain bisa memberikan gambaran laju pertumbuhan kesejahteraan
masyarakat diberbagai negara juga dapat menggambarkan perubahan corak perbedaan
tingkat kesejahteraan masyarakat yang sudah terjadi diantara berbagai negara.
Arsyad (1999), juga mengatakan bahwa
faktor ekonomi juga mempunyai kontribusi yang besar dalam menjadikan suatu kota
kecil menjadi kota besar karena pertumbuhan ekonomi suatu kota tentu saja tidak
terlepas dari potensi dan aktivitas ekonomi yang berjalan di kota tersebut.
Pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha
untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan
tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita. Jadi tujuan pembangunan ekonomi
disamping untuk menaikkan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan
produktivitas (Irawan dan Suparmoko, 2002).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
mendorong pula tumbuhnya pola hidup yang konsumtif. Kekayaan materi tidak saja
untuk memenuhi kepentingan hidup tapi juga menjadi simbol status sosial. Dengan
semakin tingginya tingkat konsumsi manusia, makin banyak sumberdaya yang
diperlukan untuk menopang pola hidup itu (Soemarwoto, 2001).
Jamaludin, A (1997), mengatakan bahwa
perkembangan ekonomi suatu daerah umumnya ditunjukkan oleh indikator ekonomi
makro, yaitu perubahan PDRB dari tahun ketahun guna mengetahui pertumbuhan
ekonomi yang dicapai suatu daerah, dan kemudian beliau juga berpendapat bahwa
perkembangan perekonomian juga akan menyebabkan peningkatan pendapatan dari
hasil pajak.
Suatu hal yang mungkin sangat sulit
untuk dipisahkan adalah, bahkan mungkin tidak bisa adalah hubungan antara
pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu banyak ahli, terutama
mereka yang mempunyai pendekatan pertumbuhan (growth) menganggap bahwa
pembangunan itu sendiri sesungguhnya adalah pertumbuhan ekonomi (Tjokroamidjojo
dalam Khairuddin, 2000).
Seer (dalam Bahrum, 1995), melihat
dengan pesimistik dan menyatakan bahwa bisa saja beberapa tipe pertumbuhan
ekonomi untuk sementara waktu berhasil meningkatkan pendapatan perkapita akan
tetapi ia dapat menyebabkan penganguran, kemiskinan dan ketimpangan yang
semakin lebar di masyarakat.
Bintarto (dalam Khairuddin, 2000),
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi sendiri tidak memberi pemecahan mengenai
masalah kemiskinan di negara-negara sedang berkembang, justru hal ini
memperlebar jurang perbedaan antara kaya dan miskin. Dengan adanya pemerataan
diharapkan perbedaan itu akan semakin kecil. Sejarah mencatat munculnya
paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi yang
berorientasi kesempatan kerja akan dapat mengurangi kemiskinan yang ada
(Kuncoro, 2003).
Pembangunan ekonomi tidak hanya
memusatkan perhatian pada pertumbuhan ekonomi, namun juga mempertimbangkan
bagaimana distribusi dari pembangunan tersebut. Ini dapat diwujudkan dengan
kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan kerja, investasi modal usaha,
perhatian pada sektor informal dan ekonomi lemah (Kuncoro, 2003). Pembangunan
ekonomi juga akan menimbulkan multiplier effect terhadap bidang perekonomian
lainnya, seperti tumbuhnya industri-industri pendukung, transportasi, jasa-jasa
untuk melayani pertumbuhan ekonomi.
2. Pemerataan
Ekonomi
Kuncoro (2003), menyatakan bahwa proses
pembangunan pada dasarnya bukanlah sekedar fenomena ekonomi semata. Pembangunan
tidak sekedar ditunjukkan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh
suatu negara, namun lebih dari itu pembangunan mempunyai perspektif yang lebih
luas. Dalam proses pembangunan selain mempertimbangkan aspek pertumbuhan dan
pemerataan juga mempertimbangkan dampak aktivitas ekonomi terhadap kehidupan
sosial masyarakat.
Dalam pembangunan di bidang ekonomi,
yang harus dimaknai adalah tidak hanya mencakup pertumbuhan ekonomi tetapi juga
adanya pemerataan pendapatan (Sumodiningrat, 2001). Dengan demikian pembangunan
ekonomi tersebut akan lebih mampu menyinambungkan pembangunan dengan memberikan
dampak jangka panjang yang lebih positif.
Ketidakmerataan dalam distribusi
pembangunan akan membawa implikasi pada social cost seperti keresahan dan
kecemburuan sosial, misalnya pembagian pendapatan yang sangat senjang tidak
hanya mempunyai konsekuensi ekonomi tapi juga sosial bahkan fisik. Berbagai
upaya pemerataan yang akan diusahakan misalnya melalui redistribution
with growth atau redistribution before growth merupakan suatu alternatif yang
harus dipilih. Pemerintah tidak boleh hands off. Tanpa campur tangan dan
political will yang kuat maka sukar untuk mengarahkan pembangunan merata
kesemua daerah. Strategi pembangunan apapun yang dianut suatu negara, maka
menggunakan tujuan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seharusnya
aspek pemerataan tidak perlu disingkirkan (Pareto dalam Bahrum, 1995).
Arsyad (1999), mengatakan bahwa
distribusi pendapatan merupakan faktor penting lainnya yang menentukan
kesejahteraan masyarakat. Beliau juga mengatakan bahwa distribusi pendapatan merupakan
inti permasalahan pembangunan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya
sedikit manfaatnya dalam memecahkan masalah kemiskinan. Distribusi pendapatan
yang merata juga terjadi pada banyak negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi,
khususnya dinegara sedang berkembang. Arsyad juga mengatakan bahwa penghapusan
kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan inti
permasalahan pembangunan.
Salah satu ketimpangan yang terjadi di
Indonesia saat ini menurut Kuncoro (2003), bahwa distribusi pendapatan dan
hasil pembangunan secara nasional masih belum merata pada setiap daerah.
Hal ini memberikan dampak terhadap masyarakat pada suatu daerah yang kurang
memperoleh distribusi pendapatan, sehingga menimbulkan perbedaan pertumbuhan
antar daerah dan masyarakat tersebut.
Salah satu definisi pembangunan ekonomi
yang paling banyak diterima adalah suatu proses dimana pendapatan perkapita
suatu negara meningkat selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa
jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan
distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Kuncoro, 2003). Ia juga mengatakan
kemiskinan amat erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. Kemiskinan
muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan
distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya
dalam jumlah terbatas dan kualitas rendah.
Para pembuat kebijakan pembangunan
selalu berupaya agar alokasi sumberdaya dapat dinikmati oleh sebagian besar
anggota masyarakat, namun karena keberadaan masyarakat amat beragam dan
ditambah tingkat kemajuan ekonomi yang tidak mendukung, maka kebijakan tersebut
belumlah berhasil memecahkan persoalan kelompok ekonomi ditingkat bawah (Swapna
dalam Arsyad 1999).
Menurut kriteria Bank Dunia (dalam
Arsyad 1999), mendasarkan penilaian pendapatan yang diterima oleh 40% penduduk
berpendapatan terendah. Kesenjangan distribusi pendapatan dikategorikan: a)
tinggi, bila 40% penduduk berpendapatan terendah menerima kurang dari 12%
bagian pendapatan, b) sedang, bila 40% penduduk berpendapatan terendah menerima
12%-17% bagian pendapatan, dan c) rendah, bila bila 40% penduduk berpendapatan
terendah menerima lebih dari 17% bagian pendapatan.