Wilayah perbatasan merupakan wilayah pertemuan
antara dua wilayah administrasi, namun sumberdaya alam (natural
resources) dan masyarakatnya bisa menjadi bagian komplementer pada
satu satuan sistem fungsional bagi pengembangan wilayah yang didukung
oleh sistem prasarana wilayah bersama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Bappeda Provinsi D.I Yogyakarta bekerjasama dengan Lembaga Penelitian
P4N UGM tahun 1993, wilayah perbatasan dapat dikelompokkan dalam 3
(tiga) tipe (Listiyah M, 1996), yaitu:
1.
Wilayah buntu, dicirikan oleh:
a.
Posisi pada ujung jaringan atau bahkan
belum terjangkau oleh sistem jaringan yang merangkai tempat tersebut dengan
pusat pelayanan hirarkhi terendah dalam sistem wilayah yang membawahinya atau
dengan perkotaan lain;
b. Terletak pada lahan marginal karena
sifat geologi wilayahnya (seperti: morfologi, lereng, batuan, dan tanah);
c.
Kepadatan penduduk rendah; dan
d.
Proyek pengembangan sangat terbatas
karena faktor ekologis;
2.
Wilayah perbatasan jalur perifer,
dicirikan oleh:
a. Terlewati sistem jaringan jalan yang merangkai
tempat tersebut dengan sistem wilayah yang membawahinya, maupun dengan sistem
seberang perbatasan;
b.
Terletak pada wilayah dengan kegiatan ekonomi
sedang; dan
c. Prospek pengembangan sangat tergantung
wilayah yang secara langsung terangkai menjadi satu kesatuan wilayah atau
kesatuan system jaringan dengan wilayah tersebut;
3.
Wilayah perbatasan kontak tinggi,
dicirikan oleh:
a.
Posisi antar wilayah utama;
b.
Intensitas kegiatan ekonomi pada satu
sisi atau pada kedua sisi pembatas;
c.
Kepadatan penduduk relatif tinggi; dan
d.
Terdapat aglomerasi penduduk dan pusat pelayanan
yang melayani kebutuhan penduduk pada kedua sisi perbatasan.