Beberapa permasalahan yang secara umum dijumpai di
daerah perbatasan meliputi:
a.
Sering timbul permasalahan dalam hal
kebijaksanaan yang harus diterapkan;
b.
Terdapat kecenderungan tumbuh lebih
lambat (untuk tipe wilayah perbatasan a dan b);
c.
Benturan dua kepentingan berbeda antar
dua wilayah; dan
d.
Belum ada kesatuan dalam perencanaan
wilayah perbatasan itu sendiri yang menimbulkan ketidakserasian persepsi dan
aspirasi pembangunan, yang kemudian akan berakibat pada ketidakserasian program-program
pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah di
daerah perbatasan tersebut.
Telah ditegaskan bahwa
pelaksanaan pembangunan di daerah harus selaras dengan potensi dan peluang
pengembangan, dan sejalan dengan prioritas yang telah digariskan oleh peraturan
yang berlaku pada masing-masing wilayah. Khusus untuk wilayah perbatasan,
diperlukan koordinasi yang matang antara dua wilayah administrasi untuk memadukan
dua atau lebih kepentingan yang berbeda. Untuk mencapai optimalisasi pembangunan
di wilayah perbatasan, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik wilayahnya,
dengan melakukan identifikasi potensi, kendala, dan peluang pengembangannya.
Dengan demikian maka penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan
tersebut akan menghasilkan rencana intervensi pembangunan, baik dalam bentuk
program atau proyek yang berhasil guna dan berdaya guna.
Pada umumnya
daerah-daerah perbatasan termasuk ke dalam kriteria desa miskin dengan
pertumbuhan cenderung lebih lambat dibandingkan dengan desa-desa di sekitarnya.
Beberapa faktor penyebab lambatnya pertumbuhan desa-desa di daerah perbatasan
diantaranya:
1.
Belum ditemu-kenalinya secara mendalam
dan menyeluruh mengenai potensi sosial-ekonomi masyarakat di daerah perbatasan,
yang pada dasarnya merupakan faktor pendukung ketahanan masyarakat di wilayah
perbatasan tersebut
2. Lemahnya kemampuan pelayanan sosial dan
ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan dibandingkan dengan jumlah penduduk
yang harus dilayani; dan
3. Kurang terdistribusinya secara merata
pelayanan sosial dan ekonomi di wilayah perbatasan dilihat atas dasar lokasi
atau agihan keruangan (spatial distribution) (Listiyah Miniarti, 1996).
Di samping
faktor-faktor tersebut, lambatnya perkembangan daerah-daerah perbatasan juga
masih ditambah lagi oleh imbas dampak kesenjangan antara desa-kota, seperti
investasi ekonomi (dalam bidang infrastruktur dan kelembagaan) yang cenderung terkonsentrasi
di daerah perkotaan, yang berakibat pada lebih cepatnya wilayah perkotaan
tumbuh dan berkembang, sedangkan wilayah perdesaan relatif tertinggal (urban
bias). Ketertinggalan tingkat kemajuan wilayah perdesaan juga disebabkan
oleh masih rendahnya produktivitas, kwalitas petani, dan pertanian, terbatasnya
akses petani terhadap sumberdaya permodalan, serta rendahnya kwalitas dan
kwantitas infrastruktur pertanian dan perdesaan. Sebagai akibatnya
kesejahteraan masyarakat di perdesaan, yang mencakup sekitar 60 persen penduduk
Indonesia, khususnya petani masih sangat rendah tercermin dari jumlah
pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang lebih besar dibandingkan wilayah
perkotaan (Anonimus, 2005).