Pemekaran
wilayah (provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa) merupakan dinamika kemauan politik masyarakat pada
daerah-daerah yang memiliki cakupan luasan wilayah administratif cukup luas. Ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan
PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, pemerintah telah memberikan ruang bagi daerah untuk
melakukan pemekaran wilayah dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata pada setiap tingkatan.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
pemekaran daerah dapat berupa penggabungan dari beberapa daerah atau bagian daerah yang berdekatan atau
pemekaran dari satu daerah menjadi lebih dari satu daerah. Sedangkan secara substansi, pemekaran daerah bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan
pemerintah pada masyarakat dalam rangka, percepatan pembangunan ekonomi daerah, peningkatan keamanan dan
ketertiban untuk mewujudkan keserasian pembangunan antar pusat dan daerah. Selain itu diatas, pemekaran daerah dapat
dijadikan sebagai sarana pendidikan
politik di tingkat lokal untuk sesuai potensi dan cita-cita daerah (Pramono,
2006).
Perkembangan
pemekaran wilayah dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir ini cukup banyak mendapat respon
masyarakat. Sampai tahun 2005, pemerintah telah mengesahkan pemekaran wilayah sebanyak 148 daerah otonom baru,
terdiri dari 7 provinsi, 114
kabupaten, dan 27 kota (tahun 1999-2004). Sampai tahun 2007 telah terbentuk 173 daerah otonom, terdiri dari 7
provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota. Dalam versi lain pemekaran wilayah selama tahun 1999-2007, telah terbentuk 7
provinsi, 144 kabupaten, dan 27
kota. Pada tahun 2007, DPR telah memutuskan 12 wilayah dari usulan 39 wilayah
yang diterima sebagi daerah
pemekaran yang disahkan oleh Departemen Dalam Negeri.
Hasil
evaluasi Departemen Dalam Negeri (2006) terhadap 2 provinsi, 40 kabupaten, dan 15 kota, menunjukkan 79 persen
daerah baru belum mempunyai batas wilayah yang jelas (Kompas Rabu, 30 Agustus 2006). Dari 104 daerah pemekaran yang
dievaluasi, sekitar 76 daerah
bermasalah dan 148 daerah otonom baru umumnya juga menghadapi berbagai masalah antara lain, penyerahan
pembiayaan personel, peralatan dan dokumen (P3D), batas wilayah, dukungan dana, mutasi PNS, serta pengisian jabatan dan
tata ruang. Sebanyak 83 persen dari
148 daerah hasil pemekaran, kondisi keuangan daerahnya tidak memenuhi syarat pengelolaan anggaran. Walaupun
teorinya untuk memudahkan pelayanan rakyat, tapi praktiknya dana publik malah habis terserap untuk dana politik
(Tempo Interaktif, 26/4/2007).
Merujuk temuan BPK terhadap daerah otonom baru, kinerja keuangan daerah pemekaran baru cukup memprihatinkan,
dan menghadapi masalah keterbatasan SDM (SKH Radar Lampung, 29 Agustus 2007). Kondisi tersebut dikuatkan pula
dari hasil studi Direktorat Otonomi
Daerah BAPPENAS (2004), yang mengatakan pelayanan kepada masyarakat di beberapa daerah otonom baru belum meningkat karena
menghadapi berbagai persoalan,
antara lain: persoalan kelembagaan, infrastruktur, dan sumber daya manusia.
Dari
aspek kelembagaan, ditemui beberapa daerah otonom baru saat membentuk unit organisasi pemerintah daerah belum
sepenuhnya mempertimbangkan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat. Pembentukan daerah otonom baru sepertinya
menjadi sarana bagibagi jabatan
(Kompas, 30 Agustus 2006). Terlihat juga adanya kelambatan pembentukan instansi vertikal, serta kurangnya
kesiapan institusi legislatif sebagai partner pemerintah daerah. Untuk infrastruktur, sebagian besar daerah otonom baru
belum didukung oleh prasarana dan
sarana pemerintahan yang memadai. Banyak kantor pemerintahan menempati gedung-gedung sangat sederhana yang
jauh dari layak. Dalam hal sumber daya manusia secara kuantitatif relatif tidak ada masalah, walaupun masih juga
ditemui ada Kantor Bappeda yang
hanya diisi oleh 2 (dua) orang, yaitu 1 (satu) orang Kepala Bappeda dan 1
(satu) orang staf. Secara kualitas
yang menonjol adalah penempatan pegawai yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, misalnya
ditemui ada Kepala Dinas Perhubungan berlatar belakang Sarjana Sastra (Pramono, 2006).
Melihat
kondisi aktual seperti diatas, pembentukan daerah otonom baru disinyalir bermotif politis dan cenderung
merugikan masyarakat. Tujuan pembentukan daerah otonom baru hanya menjadi sebuah hipotesis yang tidak terbukti atau
bahkan gagal. Disisi lain proses pemekaran
tetap saja berlangsung sebagai dinamika perkembangan di era reformasi. Kemudian pertanyaannya adalah:
1. Bagaimana meningkatkan pertumbuhan
wilayah-wilayah pemekaran baru yang
menjadi provinsi, kabupaten, kecamatan, atau desa?
2. Apakah program-program pembangunan sudah diimplementasikan
sesuai dengan kebutuhan wilayah baru tersebut?
Salah
satu tools yang dapat digunakan
untuk membangun suatu wilayah menjadi cepat berkembang dengan fokus pemberdayaan masyarakat adalah
melalui transmigrasi. Hal ini sejalan dengan tujuan pembangunan transmigrasi
dalam UU No. 15 Tahun 1997 yaitu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja dan membangun pusat-pusat pertumbuhan baru, serta
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan transmigrasi, maka pemerintah
menetapkan berbagai kebijakan
sebagai usaha untuk mempercepat pertumbuhan kawasan transmigrasi berbasis pengembangan wilayah melalui
pembangunan diberbagai bidang seperti pembangunan
permukiman, sarana dan prasarana, serta membangun kemandirian. Implementasi paradigma baru
pembangunan transmigrasi dinyatakan dalam Rencana Strategis Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2005-2009,
dengan target membangun 5 (lima)
pusat pertumbuhan. Kebijakan dan program pembangunan transmigrasi jangka menengah diarahkan untuk Pengembangan
Wilayah Perbatasan (PWP), Pengembangan Wilayah
Strategis dan Cepat Tumbuh (PWSCT), dan Pengembangan Wilayah Tertinggal (PWT).