Pembangunan
berdimensi lingkungan hidup atau berwawasan lingkungan telah disepakati oleh
banyak Negara di dunia termasuk Indonesia sebagai konsep, strategi dan model
yang diharapkan mampu menjaga pelestarian fungsi lingkungan. Bagaimana konsep pembangunan
berkelanjutan dan bagaimana diimplementasikan masih terus menjadi wacana,
terlebih lagi dalam era otonomi daerah sekarang ini. Mengutip kearifan
pembangunan dari Thailand yang mengatakan bahwa “development is not a work, an activity
or a project. It is a movement in which many who share similar ideas take part (Phongphit (1989) dalam Sudharto P. Hadi, 2001).
Unsur-unsur dan muatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) lebih menghendaki terwujudnya pembangunan sosial
dimana peran serta, keadilan menjadi bagian di dalamnya.
Konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) pertama kali
diperkenalkan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission on Environment and
Development (WCED)) atau
yang lebih dikenal dengan Brundtland Commission pada tahun 1987 di Norwegia.
WCED mendefinisikan pembangunan berkelanjutan atau sustainable development is development
that meets the needs of the present without comprimising the ability of future generations
to meet their own needs.
Apabila diterjemahkan dapat diartikan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Menurut WCED terdapat dua kunci konsep utama dari definisi
tersebut, yaitu: (1) Konsep tentang kebutuhan (needs) yang
sangat esensial untuk penduduk miskin dan perlu diprioritaskan; (2) Konsep
tentang keterbatasan (limitation)
dari kemampuan lingkungan hidup untuk memenuhi
kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk itu diperlukan
pengaturan agar lingkungan tetap mampu mendukung kegiatan pembangunan dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia.
Prof.
DR. Emil Salim (1990) dalam makalahnya berjudul “Sustainable Development: An Indonesian
Perspective” menyebutkan
bahwa konsep pembangunan berkelanjutan menempatkan pembangunan dalam perspektif
jangka panjang (a
longer term perspective). Konsep
tersebut menuntut adanya solidaritas antar generasi. Dalam konteks Indonesia, pembangunan
berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan juga mengeliminasi
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan
secara implisit juga mengandung arti untuk memaksimalkan keuntungan pembangunan
dengan tetap menjaga kualitas sumberdaya alam. Konsep pembangunan berkelanjutan
menyadari bahwa sumberdaya alam merupakan bagian dari ekosistem.
Dengan
memelihara fungsi ekosistem maka kelestarian sumberdaya alam akan tetap
terjaga. Dapat disimpulkan bahwa pembangunan berkelanjutan mempersyaratkan
melarutnya lingkungan hidup dalam pembangunan. Prof. DR. Emil Salim (1990)
selanjutnya mengemukakan beberapa resep strategis apabila konsep pembangunan
berkelanjutan tersebut diterapkan dalam konteks pembangunan Negara-negara
berkembang seperti Indonesia, meliputi:
1. Pembangunan
berkelanjutan menghendaki penerapan perencanaan tata ruang (spatial planning);
2. Perencanaan
pembangunan menghendaki adanya standar lingkungan yang bisa menjamin kualitas
dan kelestarian lingkungan hidup;
3. Penerapan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai perangkat pengelolaan
lingkungan hidup;
4. Pemulihan/rehabilitasi
kerusakan lingkungan hidup khususnya di daerah yang kritis sebagai program
pengelolaan lingkungan hidup;
5.
Usaha untuk
memasukkan secara eksplisit pertimbangan/variable lingkungan hidup ke dalam
perhitungan ekonomi (internalisasi) sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan
ekonomi lingkungan.
Menurut
Rees dan Roseland (1991) konsep pembangunan seperti yang diajukan oleh WCED
adalah pandangan dari the
mainstream. Menurut WCED, untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan diperlukan pertumbuhan ekonomi yang cepat
baik di Negara maju maupun Negara sedang berkembang. Bertolak dari perspektif
WCED, Canadian Report
of the National Task Force on Environment and Economy mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai
”development which ensures that utilization
of resources and the environment today does not damage prospects for their use
by future generations”. Lebih
lanjut Canadian Task
Force ini memformulasikan bahwa
”current practices should not diminish
the possibility of maintaining or improving living standards in the future”.
Rees
dan Roseland (1991) mengkritik bahwa kedua dokumen (baik WCED maupun Canadian Task Force) menyarankan pertumbuhan ekonomi sebagai
strategi utama untuk keberlanjutan dengan suatu asumsi bahwa surplus ekonomi
memungkinkan untuk pemeliharaan dan konservasi ekosistem. Kedua dokumen
tersebut tidak membedakan pertumbuhan yang lebih menunjuk pada ekspansi
kuantitatif dalam skala dari sistem ekonomi dan pembangunan yang seharusnya
merujuk pada perubahan kualitatif secara fisik dari sistem non ekonomis dalam keseimbangan
dinamis dengan lingkungan hidup.
Menurut
Rees dan Roseland (1991) ada alasan historis kenapa penekanan diletakkan pada
pertumbuhan. Dalam sistem ekonomi kapitalis, terdapat suatu premis bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan pendapatan perkapita. Pada
gilirannya penduduk miskin akan memperoleh bagian melalui mekanisme tetesan ke
bawah (trickle down
effect). Bertolak dari pemikiran
tersebut, Rees dan Roseland (1991) dengan hati-hati merumuskan pembangunan
berkelanjutan yang diaplikasikan dalam pembangunan perkotaan sebagai berikut, ‘‘Strong sustainability’ has serious
implications for urban form, for the material basis of urban life and for
community social relationship that must be expressed as practical measures in
planning” … ”these measures must emphasize the efficient use of urban space,
reducing community livability and organizing administrative and planning
processes which can deal sensitively and comprehensively with the attendant
socioeconomic and ecological complexities”.
Pembangunan
berwawasan lingkungan menghendaki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pembangunan
itu sarat dengan nilai (dalam arti bahwa pembangunan harus diorientasikan untuk
mencapai tujuan ekologis, sosial dan ekonomi);
b. Pembangunan
itu membutuhkan perencanaan dan pengawasan yang seksama pada semua tingkat;
c. Pembangunan
itu menghendaki pertumbuhan kwalitatif setiap individu dan masyarakat;
d. Pembangunan
membutuhkan pengertian dan dukungan semua pihak bagi terselenggaranya keputusan
yang demokratis;
e.
Pembangunan
membutuhkan suasana yang terbuka, jujur, dan semua terlibat senantiasa
memperoleh informasi yang aktual.
Apa
yang diutarakan tersebut sejalan dengan gagasan Jacobs, et.al. (1986) dalam bukunya ‘Sustainable and Equitable Development’ yang mengajukan 4 (empat) prinsip untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan (Sudharto P. Hadi, 2001), yang meliputi:
a. Pemenuhan
kebutuhan dasar (fulfillment
of human needs), meliputi: kebutuhan
materi dan kebutuhan non materi;
b. Pemeliharaan
lingkungan (maintenance of
ecological integrity), meliputi:
konservasi dan mengurangi konsumsi;
c.
Keadilan
sosial (social equity), meliputi: keadilan pada masa kini dan keadilan
pada masa datang;
d. Kesempatan
untuk menentukan nasibnya sendiri (self
determination), meliputi:
masyarakat mandiri dan partisipatori demokrasi.
Sumber:
Perencanaan Pengembangan Wilayah (Aziz Budianta, dkk., 2011)