Menurut Dahlan (1992) dan
Purnomohadi (1995), degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan
Indonesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin meningkatnya suhu udara di
atas kawasan perkotaan, penurunan muka air tanah, pencemaran air tanah, udara,
dan suara (bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai,
suasana gersang, monoton, membosankan dan terjadinya tekanan psikologis
penghuninya (stress).
Kurangnya apresiasi akan pentingnya
RTH, inkonsistensi kebijakan dan strategi Tata Ruang Kota yang sudah ditetapkan
dalam Rencana Induk Kota, serta lemahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam
pelaksanaan pembangunan kota menyebabkan kuantitas dan kualitas RTH semakin
berkurang. Nilai ekonomi vs nilai ekologis, keterbatasan luas lahan akibat
benturan kepentingan dalam fenomena pembangunan perkotaan, lebih ditekankan
pada pentingnya pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan yang dianggap
mampu menyerap banyak tenaga kerja (atau demi kepentingan ekonomi jangka
pendek).
Masalah klasik pengelolaan RTH,
dianggap akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, pemeliharaan RTH yang
tidak konsisten, dan pemilihan jenis tanaman tak sesuai persyaratan ekologis
bagi masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pembibitan tanaman
penghijauan. Keterbatasan dana pembangunan dan pengelolaan RTH memerlukan
terobosan pengembangan pola kemitraan hijau.
RTH sering dianggap sebagai lahan
tidak berguna, tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor berbagai
penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat akan arti dan fungsi hakiki RTH,
umumnya masih sangat kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok
usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain anak, maupun taman lansia,
apalagi taman khusus bagi penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman
umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum (Haryoso, 2003). Dalam
penataan lansekap kota, etika, dan estetika, khusus penempatan iklan/papan
reklame belum ditata menurut kaidah penataan ruang luar yang lebih sesuai.
Bentuk kelembagaan yang sesuai dan
efektif untuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan (dari tingkat
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian) RTH masih sangat kurang,
karena terbagi ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tumpang
tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan karena tugas pokok dan
fungsi yang hampir sama, seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan
Kehutanan; Dinas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidikan dan
Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas
Kebersihan. Rencana penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata
Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam satu atap agar mampu
meningkatkan pelayanan pembangunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu
dikaji ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan RTH di
Kawasan Perkotaan yang transparan dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata
pemerintahan yang baik (good governance).