Akibat pembangunan tidak berwawasan
lingkungan, luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh dari luas
optimal 30 persen dari total luas kota. Secara umum, permasalahan
ketidaktersediaan RTH kota secara ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan
KLH, 2001) :
1. Inkonsistensi kebijakan dan strategi
penataan ruang kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan urgensi eksistensi
RTH dalam kesatuan wilayah perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH di
daerah belum memadai, karena dianggap sebagai ruang publik (common property)
yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga saling melepas tanggung jawab;
2. Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan
tidak rutin. RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug liar dan sarang
vektor pembawa penyakit, sehingga cenderung lebih menjadi masalah dibanding manfaat;
3. Kurangnya pemahaman (butir 1),
berakibat tidak tersedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi peluang bagi
warga kota, terutama anak-anak, remaja, wanita, manusia usia lanjut dan
penyandang cacat, untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang kehidupan
langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olahraga, berekreasi dan bermain;
4. Pencemaran ekosistem perkotaan
terhadap media tanah, air dan udara semakin meningkat dan menimbulkan penyakit
fisik dan psikis yang serius.
Pernyataan hidup sehat itu mahal
telah dibuktikan oleh para pakar kesehatan maupun para penderita penyakit.
Hubungan antara pencemaran pada media lingkungan udara, air dan tanah dengan
kesehatan sangat terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara tercemar
yang sama, makan dari hasil produksi bahan mentah dari sumberdaya buatan maupun
alami yang relatif sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient),
terpaksa atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar. Sebagaimana
kehidupan tubuh manusia yang sehat jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun
dapat selalu dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota, mampu
menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur sungai yang ada dalam tubuh
kota diumpamakan sebagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.
Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu kriteria pengembangan Kota Sehat,
di mana warga kotanya dapat hidup sehat pula.
Perencanaan RTH kota harus dapat
memenuhi kebutuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen PU No. 387
tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau
umum 2,3 m2/jiwa,
sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa. Dengan
demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa.
RTH tersebut harus dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi
ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan
pelayanan umum (ekonomis), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan
lansekap kota (estetis). Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi
estetis, karena secara alami manusia membutuhkan hidup dekat dengan alam yang
asri, nyaman dan sehat, sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi
ekosistem alam.
Kota identik dengan deretan
beranekaragam bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan perumahan,
perkantoran, sarana umum seperti pasar atau pusat perbelanjaan, rumah sakit,
terminal, jalan raya, tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan
manusia (Nazarudin, 1996).
Sebagian besar wilayah perkotaan di
Indonesia mengalami kemunduran secara ekologis yang diakibatkan oleh
ketidakharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah, banjir/genangan,
penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh
bakteri dan unsur logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, kadar
karbon monoksida (CO), ozon (O3), karbon-dioksida (CO2),
oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta suasana yang gersang, monoton,
bising, dan kotor (Endes, N. Dahlan, 1992).
Menimbang hal tersebut, maka
pembangunan hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecahan permasalah
lingkungan perkotaan yang kompleks, sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun
dan dikembangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,
membersihkan lingkungan dari pencemaran dan perusakan, meredam kebisingan, dan
beberapa keuntungan lain.
Pada dasarnya hutan kota merupakan
bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota memiliki makna
mengamankan ekosistem alam yang besar pengaruhnya terhadap eksistensi dan
kelangsungan hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga kota itu
sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa potensi masyarakat merupakan hal
utama dalam membentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu, peran
masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan pengembangan hutan kota.
Hutan Kota adalah lahan yang
bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik
pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh
pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002). Pengertian Kota yang nyaman dan
menyehatkan adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya lingkungan
yang bebas polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai,
perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan
lingkungan, serta terwujudnya kehidupan dalam suasana kemasyarakatan yang akrab
dan saling tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap memelihara nilai-nilai
budaya bangsa.
Salah satu metode paling efektif
dalam mengendalikan pencemaran udara adalah pengendalian pada sumbernya, tetapi
metode ini belum menjamin 100 persen efektif dan efisien, karena keterbatasan
teknologi dan dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah penggunaan
metode pengendali pencemaran udara bukan pada sumber pencemar, salah satunya
yaitu dengan mempertimbangkan peran RTH (Warren, 1973).