Oleh
: Indah Susanti
dan Teguh Harjana
A. Pengantar
Masalah
perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi.
Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek,
termasuk aspek lingkungan. Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat
hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti
juga peningkatan kebutuhan ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang
terjadi adalah perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi
lahan-lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Pada saat ini hanya
1,2% lahan di dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spasial dan
densitas kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang.
PBB telah melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, sekitar 60%
populasi dunia akan tinggal di kota-kota.
Pada saat
ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda
dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup
banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan
menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro. Berbagai aktivitas
manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah
komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus
karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan
perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari.
Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
karakteristik iklim di suatu daerah.
Perubahan-perubahan
tersebut sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam perancangan dan perencanaan
kota. Namun di sisi lain, pemahaman mengenai urbanisasi dan dampaknya pada
sistem iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem perencanaan pembangunan
perkotaan di Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis,
dimana diasumsikan tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan
perubahan guna lahan. Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data
yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi
sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam
perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah
dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan
implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim.
B. Beberapa Karakteristik Iklim
Perkotaan
Iklim
perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik.
Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik,
bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan
area non perkotaan.
Iklim
suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro
(seperti. garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air).
Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim
lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi,
serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan
mempengaruhi iklim perkotaan (Gambar 1).
Gambar: Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan (Sumber:
Sebastian Wypych, 2003)
Dalam
tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka
hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya,
ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan
terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh
jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda
dengan karakter ruang terbuka hijau.
Setiap
material permukaan mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi
matahari yang terpantul dan terserap di permukaan. Dalam beberapa penelitian
ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk
salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang
datang diserap oleh suatu kota. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk
konstruksi kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas dan keterhantaran panas
tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah
faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di
atas kawasan perkotaan.
Dari sisi
yang lain, geometri tiga dimensi, kota cenderung untuk menjebak radiasi dekat
permukaan, dan dengan demikian menurunkan radiasi gelombang panjang yang
mungkin dapat dilepaskan. Energi yang cukup besar yang disimpan kota sepanjang
siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses yang sangat lambat. Proses
pendingingan di kawasan perkotaan ini jauh lebih lambat bila dibandingkan
dengan pendinginan yang terjadi di kawasan non perkotaan yang memiliki jumlah
vegetasi cukup banyak.
Polusi
udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi ciri kawasan perkotaan.
Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan partikel/unsur/butir padat yang
diemisi oleh industri, transportasi, sistem pemanas dan lain lain. Polusi udara
yang teremisi, merubah komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan transmissivitas
dan meningkatkan daya serap terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi
udara menyerap cahaya matahari dan visibilitas udara menurun, sehingga lebih
sedikit radiasi matahari yang menjangkau permukaan tanah.
Pada
umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal
tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan intensitas penggunaan
jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara tertinggi cenderung
terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu lintas yang
terjadi sangat tinggi.
Dalam
rentang waktu satu tahun, di negara-negara subtropis, konsentrasi polutan
tertinggi cenderung terjadi pada waktu musim dingin ketika banyak polusi udara
berbahaya dipancarkan karena konsumsi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan
bangunan, dan ketika atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan
udara untuk bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak
jarang pula terbentuk.
Dalam
sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara signifikan karena permukaan
artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih dari
itu, selama musim hujan, air mengalami run off dengan cepat ke dalam sistem
drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi cepat kering. Karena air di
atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang ada tidak digunakan untuk
evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan atmosfer kota. Penting untuk
disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah atau kawasan, sangat
berpengaruh terhadap suhu udara.
Dampak
faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur
spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan
bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa
pabrik-pabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil
terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan
bangunan-bangunan yang tinggi.
Selain
itu, setting alam dimana kota berada, memiliki implikasi yang besar terhadap
sistem interaksi factor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang
terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal
tersebut menyebabkan kualitas udara buruk, ditambah lagi oleh inversi
temperatur yang sering terjadi.
Kota yang
berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar
dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah
sebagai area yang mendapat shade tetap lebih dingin dari area yang terletak di
atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk
inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area
miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin,
yang memperkuat inversi.
Iklim
perkotaan dapat diperbaiki oleh perencanaan struktur perkotaan dengan cara
mengurangi dampak negatif faktor-faktor alam dan antropogenik. Misalnya melalui
penempatan daerah hijau (misalnya taman) dan badan air daerah lokasi-lokasi
yang strategis. Pabrik-pabrik sebaiknya dibangun dengan memperhatikan arah
angin, sehingga polusi udara terbawa oleh angin dan tidak mencemari ke
area-area dimana dibutuhkan kualitas udara yang baik seperti area permukiman.
C. Perubahan Iklim Global
Perubahan
iklim pada abad ini telah menjadi isu lingkungan yang cukup penting. Berbagai
penelitian dilakukan untuk dapat mengidentifikasi berbagai penyebab terjadinya
perubahan iklim. Penelitian-penelitian lainnya mengarah pada identifikasi
strategi mitigasi bencana perubahan iklim. Berbagai perubahan dan konsekuensi
yang terukur sangat diperlukan untuk dapat melakukan respon dan adaptasi yang
tepat terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi yang dapat dilakukan di
kawasan perkotaan. Hal penting lainnya yang diperlukan adalah eksplorasi
pengetahuan mengenai bagaimana pembangunan kota-kota baru dapat memenuhi
kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.
Pada tahun
2030, diperkirakan 60% penduduk dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Ini
merupakan tantangan yang cukup berat. Pertambangan penduduk perkotaan menuntut
adanya efisiensi dalam sistem ekonomi, termasuk efisiensi dalam intensitas
penggunaan ruang. Pembangunan pencakar langit dengan kepadatan yang tinggi merupakan
salah satu bentuk efisiensi penggunaan ruang. Penggunaan teknologi bahan yang
kedap air untuk meningkatkan daya tahan bangunan, adalah bentuk lain dari
efisiensi ekonomi di perkotaan. Padahal, tingkat kepadatan yang tinggi dan
penggunaan bahan-bahan kedap air dengan kapasitas panas yang tinggi merupakan faktor-faktor
yang memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan di perkotaan. Respon yang
sering muncul terhadap gejala pemanasan ini adalah adanya peningkatan
penggunaan energi untuk pendingin ruangan, yang memberikan respon balik dan
memperkuat gejala pemanasan di perkotaan.
D. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim
dalam Perencanaan Kawasan Perkotaan
Berbagai
isu lingkungan di perkotaan muncul dan memberi peringatan mengenai ancaman
keberlanjutan pembangunan kota-kota. Dalam hal ini, diperlukan pemikiran jauh
ke depan, yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan berjangka pendek,
dan perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih mempertimbangkan faktor-faktor
lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik
untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif,
sehingga konversi lahan dari pertanian produktif ataupun dari kawasan hijau
lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan.
Ini
merupakan langkah preventif untuk menurunkan laju perubahan suhu, baik secara
lokal maupun global. Sebagai langkah represif, respon dalam sistem perencanaan
dan perancangan kawasan perkotaan dapat dilakukan salah satunya melalui desain
perkotaan yang mempertimbangkan sistem iklim. Beberapa unsur perkotaan yang
perlu diamati antara lain:
1. Desain dan konstruksi bangunan. Adanya
kemungkinan terdapat masalah bangunan dan geoteknik. Desain untuk ventilasi dan
pendinginan dengan cara alami, mungkin akan sangat diperlukan.
2. Ruang terbuka dan ekologi perkotaan. Desain
perkotaan sebaiknya menggabungkan koridor-koridor habitat, badan air dan anak
sungai, dan pohon-pohon peneduh. Penggunaan lahan multi fungsi mungkin menjadi
kunci adaptasi ekologi perkotaan, dengan fokus pada kelompok permukiman baru
untuk perencanaan dan pemeliharaan karakter ekologis.
3. Utilitas. Area-area yang jauh dari pelayanan
fasilitas dan utilitas, serta area-area pantai akan menjadi area yang rentan.
Pengaruh yang paling besar akan terjadi pada perubahan geoteknik dalam
hidrologi dan air tanah, yang akan mempengaruhi drainase serta jaringan suplay
air bersih. Infrastruktur utama lainnya sering kali berada pada lintas otoritas
kewenangan dan membutuhkan pendekatan yang kolaboratif.
4. Transportasi. Berbagai prasarana transportasi
seperti jalan kereta api (terutama di daerah pantai dan daerahdaerah yang
berpotensi banjir) kanal-kanal, pelabuhan laut dan udara harus diadaptasikan
terhadap kejadiankejadian cuaca ekstrim.
5. Pengembangan sistem drainase dan pembuangan
air kotor. Area perkotaan akan membutuhkan desain
engineering yang memasukkan unsur area
permeabel dan soft engineering.
6. Perencanaan dan zoning sensitif terhadap
iklim dan menuntut konsistensi pembuatan keputusan-keputusan yang didasarkan
pada pengetahuan mengenai keterhubungan unsur-unsur iklim dan elemen kota serta
berbagai konsekuensi terhadap berbagai perubahan.
Beberapa
hal yang dapat dilakukan dalam perencanaan ruang :
1.
Preservasi
dan akuisisi ruang hijau
a. Benchmarks untuk penggambarkan penggunaan
lahan, terutama ruang terbuka hijau
b. Menghindari soil capping melalui pengembangan
ruang hijau dan air
c. Pengembangan roof greening
d. Pengembangan façade greening
2. Pengamanan pertukaran udara lokal, yang
menyangkut :
a. Produksi udara dingin
b. Suplay udara segar
c. Pengembangan koridor hijau
d. Pengembangan bentuk-bentuk bangunan yang
menguntungkan
3. Menentukan tindakan untuk kontrol polusi
a. Terhadap kawasan industri dan komersial
b. Terhadap home heating
c. Terhadap lalulintas
E. Peranan
Ruang Hijau dalam Penentuan Iklim Mikro Perkotaan
Tingginya
tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur
alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa
vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan
udara. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang
hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi
ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.
Hasil
analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak
dampak-dampak menguntungkan dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro,
kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada gedunggedung yang berdekatan,
penyimpanan karbon, dan juga memperkaya biodiversity [3,4,5]. Telah diakui pula
bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau
perkotaan, dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia.
Telah
diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi fungsi dan struktur
ruang hijau, yang mana hal tersebut pada akhirnya berdampak pada lingkungan
perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini menjadi penting untuk memberikan respon
terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim dengan strategi yang adaptif melalui
manajemen, perancangan dan perencanaan ruang hijau perkotaan. Beberapa peranan
ruang hijau di perkotaan yang berhubungan dengan kualitas udara antara lain :
1.
Penahan
dan Penyaring Partikel Padat dari Udara
2.
Penyerap
dan Penjerap Partikel Timbal
3.
Penyerap
dan Penjerap Debu Semen
4.
Peredam
Kebisingan
5.
Mengurangi
Bahaya Hujan Asam
6.
Penyerap
Karbon-monoksida
7.
Penyerap
Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen
8.
Penahan
Angin
9.
Penyerap
dan Penapis Bau
10.
Mengatasi
Penggenangan
11.
Ameliorasi
Iklim
12.
Penapis
Cahaya Silau
Beberapa
model telah dibangun dan diaplikasikan untuk mengkuantifikasi
indikator-indikator kinerja ruang hijau seperti temperatur permukaan, run-off
permukaan, carbon storage dan sequestration. Kombinasinya dengan sistem
informasi geografis, menghasilkan model-model yang didukung peralatan untuk
mengeksplor bagaimana pola spasial ruang hijau dan atribut-atributnya seperti
tutupan pohon berhubungan dengan kinerja lingkungannya.
Dari hasil
studi tersebut disimpulkan bahwa ruang hijau dapat menjadi alat yang efektif
untuk melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim di area perkotaan. Tetapi
masih terdapat banyak hal yang belum digali, seperti berapa banyak ruang hijau
diperlukan, jenis ruang hijau seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana
konfigurasi spasial yang paling efektif untuk memperbaiki iklim perkotaan
secara efektif.
F. Penutup
Urbanisasi
sebagai fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, merupakan kontributor
terhadap terjadinya perubahan iklim. Ini karena dalam proses urbanisasi terjadi
perubahan karakteristik landscape, dari yang bersifat alami menjadi artifisial.
Dalam hal ini, berbagai kebijakan yang ditempuh dalam perencanaan dan
perancangan kota dan lingkungan, perlu mempertimbangkan perubahan aspek-aspek
iklim yang akan terjadi. Penetapan pengembangan kawasan permukiman, kawasan
industri, atau pun kawasan budidaya lainnya, tentunya akan memberikan berbagai
konsekuensi terhadap kondisi atmosfer di atasnya. Oleh karena itu, para ahli
klimatologi ataupun meteorologi perlu dilibatkan dalam proses perencanaan dan
perancangan kota. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa dalam proses
perencanaan tata ruang kota terjadi reaksi yang tepat terhadap situasi atmosfer
yang terpolusi dan akan terjadi perbaikan kondisi kenyamanan iklim/bioklimatik
di perkotaan.
Daftar
Pustaka
Elsa,
Fabio Bertrand. The urban heat isles and the micro-climatic variations brought
about by vegetation.
Landsberg,
H.E., 1981. The Urban Climate. National Academy Press, New York 275pp.Li Q., et
al., 2004. Urban heat island effect on annual mean temperature during the last
50 years in China. Theoretical Applied Climatology 79: 165–174
McPherson,
G. R. Ecology and Management of North American Savannas. University of Arizona
Press, Tucson, Arizona, 1997
Nowak,
David J., Daniel E. Crane, and John F. Dwyer. “ Compensatory Value of Urban
Trees in the United States.” Journal of Arboriculture. Volume 21, Number 4.
2002. pp.194-1999.
Paul
Moccia, Lauren. Climate Change in Urban Area F.A.Q. http://www.terry.
ubc.ca/index.php/2006/02/08/climate-change-in-urban-areas-faq-moccia-mix/
Pauleit
S., Duhme F., Assessing the Environmental Performance of Land Cover Types for
Urban Planning. Journal of Landscape and Urban Planning 52 (1): 1-20, 2000.