1. Permasalahan
Mikro
Permasalahan
mikro adalah pemasalahan yang berkaitan dengan pembangunan proyek itu sendiri, baik
ditinjau dari sudut pandang pengelola maupun dari sudut pandang pemberi izin
proyek. Permasalahan mikro proyek dapat dikelompokkan sebagaiberikut.
a.
Permasalahan teknis:
antara lain di dalamnya termasuk peraturan pemerintah tentang tata guna lahan, yaitu
bahwa kegiatan seperti itu memang dibenarkan pada lokasi tersebut, kondisi lahan
sesuai, bahan/peralatan yang dibutuhkan untuk membangun proyek cukup tersedia,
dan adanya tenaga terampil sehingga proyek benar-benar dapat dibangun sesuai
dengan rencana.
b. Permasalahan manajerial
(pengelolaan): setelah proyek selesai apakah akan dapat dioperasikan sebagaimana
mestinya. Artinya bahan baku, bahan penolong, tenaga kerja, dan fasilitas pendukung
cukup tersedia sehingga tidak menjadi permasalahan dalam
pemanfaatan/pengoperasian proyek.
c. Permasalahan finansial
(keuangan): apakah terdapat dana yang cukup untuk menyelesaikan proyek dan ada dana
operasional untuk kelak mengoperasikan proyek. Apakah lokasi itu cukup efisien ditinjau
dari pengeluaran biaya, baik semasa pembangunannya maupun setelah
pengoperasiannya. Apabila proyek itu ditujukan untuk menghasilkan laba, apakah
akan diperoleh laba/pendapatan dari pengoperasian proyek sehingga proyek itu
menguntungkan dari sudut pandang bisnis.
d. Permasalahan ekonomi:
apakah sumber daya yang dikorbankan untuk proyek tersebut akan memberikan
manfaat yang lebih besar dibanding dengan biaya yang dikorbankan ditinjau dari sudut
ekonomi nasional secara keseluruhan. Apakah nilai tunai manfaat (benefit) lebih besar dari nilai tunai biaya
(cost) yang dihitung dengan
menggunakan harga bayangan (shadow prices),
dan telah memperhatikan faktor eksternal.
e. Permasalahan
dampak lingkungan: apakah proyek tersebut tidak akan menciptakan dampak lingkungan
yang berlebihan, baik sewaktu pembangunannya ataupun sewaktu pengoperasiannya.
f. Sikap sosial
masyarakat: apakah masyarakat dapat menerima kehadiran proyek tersebut.
Seandainya proyek itu terpaksa menggusur masyarakat yang sebelumnya telah
bermukim/berusaha pada lokasi itu, apakah masalah penggusuran ini akan dapat diselesaikan
dengan baik, yaitu dengan cara yang tidak menimbulkan gejolak sosial bagi
masyarakat yang tergusur. Seandainya proyek tersebut membutuhkan partisipasi
masyarakat di kemudian hari (seperti proyek PIR), apakah partisipasi akan dapat
diperoleh pada saat dibutuhkan.
g.
Permasalahan
keamanan, apakah kondisi wilayah cukup aman termasuk pada lokasi proyek. Keamanan
harus terjamin, baik dalam masa pembangunannya maupun dalam masa pengoperasiannya.
Keamanan di sini berarti terhindar dari kondisi perang, kerusuhan antarkelompok
masyarakat, penjarahan, pencurian, dan pemerasan (pungutan liar). Faktor keamanan
ini sampai batas tertentu mungkin masih bisa ditoleransi, namun biasanya akan
menambah biaya, baik untuk pembangunannya demikian juga dalam masa pengoperasiannya.
2. Permasalahan
Makro
Permasalahan makro
adalah murni permasalahan pemerintah untuk melihat kaitan proyek dengan program
pemerintah secara keseluruhan (makro). Seandainya proyek itu adalah murni swasta
dan ditujukan untuk kegiatan bisnis, barangkali pemerintah (perencana wilayah)
tidak terlalu pusing dengan permasalahan mikro, karena biasanya hal itu sudah
dipersiapkan oleh pihak swasta sebagai penggagas proyek. Tugas pemerintah adalah
memeriksa/mengawasi kebenaran dari gagasan (proposal)
terutama yang bersangkut paut dengan analisis ekonomi, dampak lingkungan, dan
sikap sosial masyarakat. Berbeda denganp ermasalahan mikro, permasalahan makro sebagian
besar menjadi tanggung jawab pemerintah (perencana wilayah). Permasalahan makro
dari penggunaan lahan untuk suatu kegiatan tertentu dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a.
Kesesuaian
Lokasi
Lokasi proyek itu
harus disesuaikan dengan daya dukung dan kesesuaian lahan secara makroregional.
Kalau sudah ada Rencana penggunaan Lahan (seperti RTRW/RUTRK) maka penentuan lokasi
dapat mengacu pada rencana tersebut. Akan tetapi, seandainya belum ada rencana penggunaan
lahan yang dimaksudkan atau kalaupun ada tidak cukup detail/rinci maka perencana
wilayah harus mengaitkan lokasi proyek dengan kebijakan penggunaan lahan yang baik
atau mengikuti prinsip-prinsip penggunaan lahan yang baik. Berbagai kebijakan
yang terkait dengan hal ini, misalnya lokasi real estate atau industri selayaknya menghindari penggunaan lahan
yang sangat subur untuk pertanian, lahan dengan kemiringan tertentu atau lahan resapan
air tanah. Untuk sektor pertanian, komoditi yang dikembangkan adalah sesuai dengan
jenis tanah atau kesuburan tanah dan seterusnya.
b.
Strategi pengembangan
ekonomi wilayah
Apabila pemerintah
ingin membangun suatu proyek terutama proyek berskala besar, hal itu harus terkait
dengan strategi pengembangan wilayah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi
di wilayah tersebut. Jadi, perlu dilihat apakah proyek yang diusulkan cukup strategis
dan sinkron dengan rencana umum pengembangan wilayah dan menuju tercapainya visi
wilayah. Misalnya, apakah proyek yang dibangun itu bersifat basis dan memiliki forward lingkage dan backward lingkage yang tinggi. Apabila ya,
maka proyek itu harus diprioritaskan. Akan tetapi, apabila proyek itu hanya
bersifat pelayanan (non- basis) maka perlu
dikaji bahwa proyek itu memang sudah dibutuhkan. Jangan sampai proyek itu justru
mematikan pelayanan proyek sejenis yang telah ada sebelumnya. Apabila hal ini terjadi
maka kita telah memboroskan uang di mana manfaat ekonominya tidak sebanding dengan
biaya yang dikorbankan. Proyek itu memang menciptakan manfaat baru tetapi mengurangi
manfaat dari proyek yang sudah ada sebelumnya. Ada baiknya disarankan untuk
menggunakan uang itu kepada kegiatan lain (terutama kegiatan basis) agar manfaat
ekonominya lebih tinggi. Mengarahkannya kepada kegiatan basis akan mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi wilayah karena pada saatnya akan mendorong pertumbuhan
sektor pelayanan.
Dalam pengembangan
wilayah kita sering menghadapi kenyataan bahwa dana yang tersedia adalah terbatas
sedangkan usulan dari masing-masing sektor cukup banyak. Untuk itu, perlu ditetapkan
skala prioritas baik pada masing-masing sektor maupun antarsektoral, padahal kriteria
seleksi bisa berbeda antara satu sektor dengan sektor lainnya. Seorang
perencana wilayah harus memiliki keahlian di dalam menetapkan skala prioritas.
3. Sistem Transportasi/Penyediaan
Prasarana
Harus dilihat apakah
penetapan lokasi dapat mengakibatkan sistem transportasi yang tidak efisien. Misalnya,
lokasi perumahan yang jauh dari tempat kerja akan mempercepat terciptanya kepadatan
lalu lintas yang tinggi dan mendorong terciptanya high cost economy. Lokasi perumahan yang dibuat berseberangan dengan
lokasi tempat kerja atau pasar, padahal jalan yang memisahkannya adalah jalan arteri.
Hal itu akan memacetkan lalu lintas dan meningkatkan terjadinya kecelakaan
karena seringnya terjadi penyeberangan.
Jangan terlalu banyak
menumpukkan kegiatan pada satu lokasi di mana angkutan seluruh kegiatan itu akan
tumpah pada satu jalan penghubung (arteri), kecuali kapasitas jalan penghubung itu
masih idle. Hal ini akan memacetkan
lalu lintas pada jalan penghubung tersebut. Sebarkanlah kegiatan pada berbagai jalan
penghubung atau tambah jalan penghubung baru atau jalan penghubung yang ada perlu
diperlebar. Perhitungkan langkah mana yang paling efisien.
4. Sistem
Pembiayaan Pembangunan di Daerah
Setelah memperhatikan
sasaran pengembangan wilayah, pada akhirnya perencana wilayah sampai kepada program
atau proyek yang diperkirakan akan menunjang tercapainya sasaran pengembangan wilayah.
Program atau proyek jelas memerlukan biaya yang seringkali melampaui kemampuan dana
pemerintah yang tersedia. Oleh sebab itu, program atau proyek perlu diberi skala
prioritas. Namun jika belum sampai pada keputusan akhir, perencana wilayah harus
mengetahui tentang sistem pembiayaan pembangunan di daerah. Hal ini disebabkan jenis
proyek yang diusulkan harus disesuaikan dengan sumber dana yang akan membiayai
proyek tersebut.
Selama masa orde
baru, sumber dana program/proyek yang berlokasi di suatu kabupaten/kota dapat
berasal dari APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/ kota. Masing-masing
sumber dana, terutama APBN dan APBD provinsi telah membuat kriteria tentang program
atau proyek apa saja yang dapat mereka biayai, sedangkan yang tidak sesuai dengan
kriteria tidak akan dilayani. APBD kabupaten atau kota memang dapat digunakan sesuai
dengan keinginan pemda setempat, tetapi kemampuan pendanaannya biasanya sangat rendah.
Proses seleksi untuk menetapkan program atau proyek yang dapat dibiayai oleh masing-masing
sumber dana dilakukan pada rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) yang
biasanya dilakukan setahun sekali, yaitu untuk dimasukkan dalam tahun anggaran berikutnya.
Setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 , dana yang berasal
dari pemerintah pusat sebagian besar dilimpahkan ke daerah dalam bentuk dana
alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) sehingga penetuan proyek sebagian
besar sudah berada ditangan pemda kabupaten/kota. Justru hal ini membuat pemerintah
kabupaten atau kota memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menentukan proyek-proyek
yang diprioritaskan dan keahlian di bidang perencanaim wilayah makin dibutuhkan
karena kegagalan pembangunan sudah menjadi tanggung jawab pemda kabupaten atau kota.
Artinya, mereka harus lebih arif dalam mengalokasikan dana yang tersedia dan lebih
mampu dalam menetapkan skala prioritas.
Sumber: Perencanaan Pembangunan Wilayah (Tarigan,
R., 2009)