Sejarah perencanaan kota di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang
berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya,
kota-kota di Nusantara tidak memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari
oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada masa pra-kolonial,
berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait
dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit
sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-kolonial.
Perencanaan sendiri merupakan
preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui
intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan
keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah
muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap
Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun
dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek
kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hirarki
sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan
persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai
penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang
tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.
Dalam hal tersebut, perencanaan
kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”.
Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya
penyeimbangan antara kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik
seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di Bali, meskipun diterapkan
semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.
Pada pengetahuan lokal tersebut,
ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen umum
yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di
sekeliling dari pusat adalah rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian
menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa.
Evers dan Korff (2000) menyebut
adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di
pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk
karena kekuatan Ilahi dari penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir
yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka dari berbagai tempat.
Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota
dagang dan kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama
muncul lebh banyak, sebelum perdagangan dengan daerah-daerah di seberang lautan
semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan samudera
oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang)
menjadi sasaran empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan
mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di pedalaman (kota suci) yang semakin
terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik.
Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya,
sehingga tidak ada cara-cara sistematis untuk mencegah hal tersebut.
Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahap awal ini kurang mampu
mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.
Pergeseran kota-kota ke arah
pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa.
Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan
antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan
atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan
pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di
pedalaman. Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting
sebuah kota, terutama untuk mendukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen
utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan
tanggapan atas perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, perencanaan masih
belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang
ekonomi ini.
Masuknya penjajah kolonial
dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia adalah
salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi,
meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang
multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga
kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di
dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa. Hal ini digambarkan oleh Karsten
dengan kondisi perumahan orang-orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah ‘India
Kuno’ yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung
dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif
dan tidak tertata. Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal
kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang
China diharuskan untuk tinggal di dalam kamp China yang didirikan bersama
dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas.
Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun
di kawasan kota lama. Inilah adalah bentuk pengaturan awal yang muncul dari
tata kota.
Dilihat dari struktur ruang,
tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang
diambilkan dari kota-kota Jawa. Kota Batiavia dibangun dengan jalan besar yang
melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sama halnya dengan
Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat
pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat
pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal
penduduk biasa berkelompok di sekitarnya. Lorong-lorong kecil menembus kawasan
pusat dengan bagian kiri dan kanan berpagar rangkaian bamboo. Jalan-jalan
diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat
digunakan untuk berjalan. Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya
sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
Pemisahan ruang masih merupakan
ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan atas kebangsaan. Orang-orang
pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun
dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting
pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa,
termasuk Asisten Residen. Pengaturan ini, oleh Voskuil (2006) didasarkan
terutama oleh tingkat kesejahteraan, namun lebih mencerminkan segregasi
spasial. Kini, di permukiman utara pun masih ditemukan adanya kantong-kantong
permukiman miskin baru.
Salah satu tonggak penting dalam
pengelolaan kota di Indonesia adalah munculnya undang-undang desentralisasi
yang memungkinkan pemerintah kota mengatur urusan kotanya sendiri. Kota-kota di
Indonesia kemudian memberlakukan peraturan bangunan, seperti Bataviasche
Plannerorderning 1941, Bataviasche Bestemingkringe en Bouwtypenverordening
1941, dan Bataviasche Bouwverordening 1919 – 1941. Semua peraturan tersebut
masih berorientasi kepada fisik kota. Dengan perhatian Thomas Karsten tahun
1920 dalam laporan Town Planning in Indonesia, maka terbentuk Komite
Perencanaan Kota oleh pemerintah kolonial yang menghasilkan RUU tentang
perencanaan kota pertama di Indonesia yang kemudian menjadi SVV dan SVO.
Kota-kota paska-kemerdekaan
adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan
nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat karena migrasi masuk.
Selain itu, terjadinya baby boom yang turut melanda Indonesia paska-Perang
Dunia Kedua. Pada saat tersebut, kondisi infrastruktur masih kurang baik.
Rencana Lima Tahun Pertama (1956 – 1960) dibuat, yang kemudian dilanjutkan
dengan pembentukan Komite Perencanaan Nasional. Komite ini membuat Rencana
Pembangunan Delapan Tahun (1961 – 1968). Kedua rencana tersebut sangat ambisius
dengan tidak memperhatikan ketersediaan dana dan daya dukung ekonomi. Masalah
yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan
tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai
bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sangat rapuh oleh
Presiden Soekarno, sebagai simbol New Emerging Forces of the World (Winarso,
1999).
Pada masa pemerintahan Orde Baru,
dengan gaya kepemimpinan nasional yang lebih rasional, maka disusun perencanaan
yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Namun, kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada
tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang
diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang didanai oleh
lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement
Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an.
Secara sistematis, kelembagaan
perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA).
Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah
berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.
Pada tahu 1980, Nasional Urban
Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak bagi
perencanaan spasial yang mengambil gagasannya dari gaya perencanaan di Inggris
(Winarso, 1999). Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik
menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development
Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi
publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta.
Pada tahun 1992, lahir UU No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih
tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi
ruang antartingkatan tersebut. Meskipun sangat kental bercorak top-down,
lahirnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya.
Lahirnya PP No. 69 Tahun 1996 tidak banyak berpengaruh terhadap pendekatan
perencanaan yang lebih partisipatif karena perencanaan belum mampu
mengikutsertakan masyarakat ke dalam bentuk paritisipasi yang lebih nyata,
ketimbang sekedar informasi dan konsultasi.
Pada tahun 1997, Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang sangat berat. Kota-kota mengalami masalah akut
terkait mandegnya investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang
demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi
kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya
perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai
motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa
pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang
kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun UU Penataan Ruang yang
baru (yang dimaksud adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). UU Pemerintahan
Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32
Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam
kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang
dilakukan bersama antardaerah otonom.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007
memberikan peluang bagi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk muncul ke
permukaan. Pendekatan didasarkan atas potensi dan kendala yang dihadapi oleh
kota-kota, baik itu fisik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, secara hubungan
spasial antara wilayah tidak lagi didominasi hubungan antara pusat – pinggiran,
melainkan berkembangkan menjadi hubungan-hubungan yang sifatnya lebih
self-sustai dengan memperhatikan peluang pasar ke luar. Disini, perencanaan
spasial menjadi bersifat strategis, ketimbang memperkuat hubungan ‘tradisional’
kota dengan wilayah sekitarnya sebagai hubungan pusat – pinggiran.
Dibalik perencanaan kota yang
disebut mainstream (formal) pengaruh-pengaruh perencanaan yang berkembang di
dunia barat pun turut mempengaruhi gagasan perencana di Indonesia. Beberapa
perencana bergerak di bidang advokasi dan pendampingan masyarakat yang
memungkinkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kekuasaan untuk
mempengaruhi kebijakan publik. Mereka ini bergabung ke dalam Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Meskipun demikian, praktek-praktek ini pun tidak dapat
dilepaskan dari “pesanan” organisasi-organisasi internasional yang menginginkan
perubahan dalam demokrasi masyarakat Indonesia yang tengah mengalami transisi.
Dari rangkaian praktek dan
pengetahuan perencanaan yang terakumulasi di atas, kita melihat perkembangan
perencanaan kota di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehadiran penjajah
kolonial di bumi Nusantara. Secara indigenous, perencanaan kota yang disebut ‘Indonesia’
hampir tidak tidak muncul ke permukaa. Perencanaan seringkali diarahkan oleh
inovasi perencanaan yang berkembang di dunia Barat. Meskipun demikian,
paska-kemerdekaan perkembangan perencanaan sangat pesat dan masih belum jelas
arah dari perencanaan kita pada masa mendatang. Semecam otokritik perlu
dialamatkan, bahwa dari pengalaman selama ini sekolah perencanaan seakan
menjadi persiapan untuk menjadi birokrat (Winarso, 1999), sehingga kurang
memberikan gambaran tentang perencanaan kota yang benar-benar dibutuhkan selama
ini dalam teori dan praktek. Tentu saja, dengan demikian, tidak dapat
diharapkan untuk meramalkan wajah perencanaan pada masa depan. Praktek-praktek
yang berkembang di luar jalur formal tersebut seringkali menjadi good practice
yang belum terlembagakan dengan baik ke dalam sistem perencanaan kita, seperti
perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) oleh Johan Silas dan
Hasan Poerbo.