Mengacu pada RPJM Nasional, pertumbuhan kota-kota saat ini terus berkembang di Indonesia. Diperkirakan pada awal millenium ketiga jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan sekitar 42 % dan angka tersebut lebih tinggi lagi di Pulau Jawa. Secara fisik, hal ini antara lain ditunjukkan oleh:
a. Meluasnya
wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya fringe-area.
b. Meluasnya
perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban’ yang telah
‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota intinya dan
membentuk konurbasi yang tak terkendali.
c. Terjadinya
reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa).
d. Kecenderungan
tingkat pertumbuhan penduduk pusat kota menurun, sedangkan di daerah sekitarnya
meningkat (terjadi proses ‘pengkotaan’ kawasan sekitar).
Kecenderungan perkembangan semacam ini berdampak
negatif (negative externalities) terhadap perkembangan kota-kota
metropolitan, besar dan menengah itu sendiri, maupun kecil di wilayah lain.
Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain adalah:
a. Terjadinya
eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota
besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
b. Terjadinya
secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan
permukiman, perdagangan, dan industri.
c. Menurunnya
kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan
dan timbulnya polusi.
d. Menurunnya
kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi,
serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan. Walaupun selain
itu masih ada kemungkinan implikasi lain yang bersifat netral dan positip (co-exist
dan cooperative).
Banyak kota di
Indonesia mengalami pertumbuhan; pada hampir semua pinggiran kotanya terlihat
meluas dengan munculnya kawasan-kawasan perumahan baru. Potensi untuk terus
berkembang pesat cukup besar terutama dengan adanya jalur-jalur masuk dari
segala penjuru yang menarik terjadinya konversi lahan terbuka menjadi hunian. Namun
di sisi lain tentu ada keinginan untuk dapat mengendalikan pertumbuhan kota
dalam suatu ‘sistem wilayah pembangunan' yang compact, nyaman, efisien
dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan
nasional di antaranya adalah penerapan ‘land use and growth management’
yang menekankan pada infill development, dengan intensitas bangunan
vertikal yang cukup tinggi, serta membatasi sub-urban sprawl, termasuk
upaya pencegahan konversi lahan pertanian produktif disertai dengan penerapan ’zoning
regulation’ secara tegas, adil dan demokratis.
Pertumbuhan lingkungan
permukiman baru yang diiringi dengan masuknya nilai-nilai kota (urban
values) tersebut membawa implikasi perubahan yang “luar biasa” bagi
wilayah pinggiran. Daerah tersebut secara perlahan dan pasti mengalami proses
peng-“kota”-an. Seiring dengan proses tersebut, berbagai implikasi akan timbul,
baik yang bersifat lingkungan fisik maupun sosial dan ekonomi. Secara empiris,
perubahan yang tampak diantaranya adalah konversi lahan pertanian, menyempitnya
kepemilikan lahan, marginalisasi penduduk perdesaan, perubahan landscape dan
bentuk rumah, perubahan pekerjaan, pendapatan, kesempatan kerja, interaksi
sosial budaya, dan sebagainya. Problem lain keberadaan permukiman baru dengan
ciri-ciri kehidupan kota adalah kemungkinan terjadinya interaksi negatif berupa
konflik antara masing-masing kelompok masyarakat, khususnya antara warga
pendatang dengan penduduk asli.
Eksistensi permukiman
baru di pinggiran kota menuntut suatu penerapan kebijaksanaan yang mempertimbangkan
proses integrasi fisik dan sosial ekonomi masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Dalam kenyataanya tidak mudah untuk merumuskan kebijaksanaan
tersebut. Sulitnya mencari alternative pengelolaan permukiman di pinggiran kota
karena belum adanya penelitian khusus yang menjelaskan karakteristik atau pola
perkembangan permukiman baru di pinggiran kota dan implikasinya bagi perubahan
sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di dalamnya. Akibatnya, upaya-upaya
pragmatis untuk memecahkan berbagai persoalan permukiman yang terus diupayakan
para praktisi seringkali menghadapi jalan buntu terutama karena masih
terbatasnya teori-teori yang dapat menjelaskan fenomena perkembangan permukiman
yang khas Indonesia.
Selama ini studi tentang
permukiman lebih diletakkan dalam kerangka perbaikan lingkungan permukiman di dalam
perkotaan, kajian tentang pengadaan dan pembiayaan pembangunan perumahan,
kajian desain rumah dan lingkungan permukiman. Pertumbuhan permukiman baru di
wilayah pinggiran kota dan implikasinya belum banyak mendapat perhatian. Oleh
karena itu berbagai studi harus terus dilakukan untuk mengembangkan teori dasar
mengenai system permukiman, agar upaya pragmatis untuk memecahkan persoalan
permukiman di Indonesia tidak begitu saja terjebak menggunakan teori-teori dari
barat yang belum tentu tepat untuk konteks Indonesia.
Adanya penelitian
tentang fringe area ini akan bermanfaat, baik bagi pengembangan konsep
(teoritis) maupun aplikasi. Dari sisi pengembangan konsep dan teori, penelitian
seperti ini memberikan kontribusi dalam upaya strategi pembangunan lingkungan
perumahan yang berwawasan kesatuan. Hingga saat ini, pembangunan perumahan baru
di Indonesia cenderung di lakukan dengan pendekatan kekotaan dan secara parsial
tanpa memandang perkembangan wilayah yang ada di sekitarnya dengan kondisi yang
berbeda.
Sebaiknya penelitian
bisa menawarkan re-orientasi baru dalam memandang strategi pembangunan
perumahan, yaitu merubah atau menggeser dari paradigma city oriented menjadi
local based development secara terintegrasi. Pengembangan model ini
menggunakan cara pandang yang lebih luas dengan mengintegrasikan berbagai macam
karakteristik sosial-ekonomi yang berbedabeda menjadi satu kekuatan yang
integral. Model ini tepat di dalam kerangka menyambut era otonomi daerah dan
meredam konflik antara penduduk pendatang di perumahan baru dengan penduduk
lokal, sehingga dapat meredam munculnya disintegrasi sosial, khususnya secara
fungsi, sosial dan ekonomi.