Sebagai salah satu unsur kota
yang penting khususnya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit atau
kecilnya ukuran RTH Kota (Urban Green Open Space) yang ada, termasuk
halaman rumah/bangunan pribadi, seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang
hijau yang ditanami tetumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang
eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian,
sebagai:
1. RTH
adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata,
mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu);
2. Sebentang
lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis
tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan
hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan
sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan,
dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta
benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang
bersangkutan (Purnomohadi, 1995).
Sedangkan Ruang Terbuka (RT), tak
harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu
berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa RT,
apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’ yang gersang, kota
menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman,
tidak manusiawi, sebab tak layak huni. Secara
hukum (hak atas tanah), RTH bisa berstatus sebagai hak milik pribadi (halaman
rumah), atau badan usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood),
seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, bangunan peribadatan, tempat
rekreasi, lahan pertanian kota, dan sebagainya), maupun milik umum, seperti:
Taman-taman Kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan Kota/Urban
Forest Park, Lapangan Olahraga (umum), Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau
koridor hijau): lalu-lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai,
jaringan tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/SUTET, Taman
Pemakaman Umum (TPU), dan daerah cadangan perkembangan kota (bila ada). Lebih
jelasnya, bila berdasar pada status penguasaan lahan, RTH kota dapat terletak
di:
1. Lahan
Kawasan Kehutanan, yurisdiksinya diatur oleh UU Nomor: 5/1967, tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan
Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Kawasan Hutan Kota dapat berupa
Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun Bibit Kehutanan.
2. Lahan
Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU No.5/1960, tentang
Peraturan-peraturan Pokok Agraria. Menurut kewenangan pengelolaannya berada di
bawah unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan
Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan, dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang dimiliki atau
dikelola penduduk.
Menurut Gunadi (1995) dalam
perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open
space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT
berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar
bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam
bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang
secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti
halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square.
Sedangkan zona hijau bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau
jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta
api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes),
berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman
pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka (Hijau).
Ruang terbuka yang disebut Taman
Kota (park), yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan
perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang
kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena
umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman,
sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan
tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian
kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi
keseimbangan ekologis kota.
Berdasar batasan umum, maupun
kewenangan pengelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan daerah khusus RTH
kota dan peraturan lain terkait, namun tetap masih diperlukan pengaturan lebih
lanjut, yang dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang lain, seperti:
UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan menjadi UU No. 23/1997 tentang
Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan
Permukiman, UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992 tentang
Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU No. 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Keterbatasan lahan hijau dan
masih kuatnya egoisme sektoral menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri
yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian tembok pembatas antar
gedung bertingkat yang masif dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh
khususnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indonesia, hingga dapat
menyatu dengan trotoar yang berada di tepian badan jalan. Untuk menjaga
ketertiban, maka peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut pembayaran
biaya parkir di halaman gedung.
Berdasarkan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT
Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), disepakati
bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari
total luas kota. Tentu saja ‘angka’ ini bukan merupakan patokan mati. Penetapan
luas RTH kota harus berdasar pula pada studi eksistensi sumber daya alam dan
manusia penghuninya.
Penetapan besaran luas RTH ini
bisa juga disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disayangkan, bahwa
dalam hal pengelolaan RTH Kota agar tetap bisa eksis, bahkan kualitas maupun
kuantitas RTH-nya bisa terus meningkat, nampak kurang konsistennya Pemerintah
Daerah DKI-Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika
target luas RTH dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 adalah 37,2 persen
(sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005,
target tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal). Namun, dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010, target luas RTH menyusut
hanya sebesar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara luas RTH di
lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190 hektar, atau ‘kritis’) dari total
luas kota Jakarta yang 66.152 hektar tersebut.
Target yang semakin menyempit itu
pun, konon sulit direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan
kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan
panjang jalur jalan yang semakin meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan
jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi
RTH yang sering di korbankan padahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis
tinggi, bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara fisik maupun
psikologis.
Pada kenyataannya, formula
rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan
ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu,
antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota,
kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain. Dapat disimpulkan,
bahwa sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan
segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ruang rekreasi
gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya,
pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas
keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan
pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.
Sumber:
Ruang Terbuka Hijau (http://www.penataanruang.net/taru/nspm/22)