Anda Pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Daerah Perbatasan dan Pembangunan Perdesaan

Written By Tasrif Landoala on Minggu, 29 September 2013 | 23.43



Daerah perbatasan yang pada umumnya berupa wilayah perdesaan adalah merupakan bagian dari Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) yang diharapkan akan tumbuh dan berkembang sejajar dengan daerah lain. Dalam konteks kewilayahan, terdapat kecenderungan di daerah perbatasan pertumbuhan wilayahnya lebih lambat dibandingkan dengan wilayah bukan perbatasan, hal ini disebabkan adanya isolasi fisik untuk daerah perbatasan yang sekaligus merupakan wilayah pedalaman dan terjadinya isolasi perhatian dari pemerintah yang lebih tinggi serta sering terjadi benturan dari kebijaksanaan yang berbeda dalam peruntukkan lahan di daerah perbatasan (Mubyarto, dkk., 1991) Terjadinya konflik-konflik di daerah perbatasan tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan wilayah tersebut.
Berkaitan dengan pendekatan keruangan pada studi geografi, untuk mengembangkan wilayah perbatasan yang pada umumnya berupa perdesaan, suatu kebijaksanaan pembangunan keruangan sudah seharusnya mempromosikan pertumbuhan pusat-pusat pelayanan perdesaan yang dapat menghubungkan pusatpusat atau kota-kota dengan daerah buriloka termasuk daerah di sepanjang perbatasan. Kebijaksanaan ini harus dilengkapi dengan (Huisman, 1987):
1.  Ekstensifikasi pasar untuk menampung kelebihan produksi pertanian dan output daerah perdesaan yang lain;
2.   Pengagihan input yang dibutuhkan untuk produksi pertanian yang telah meningkat tersebut (seperti benih, pupuk, dsb);
3. Pengagihan pelayanan-pelayanan seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, persediaan air bersih, angkutan umum, dan tentu saja penyebaran pelayanan ekonomi yang lebih luas dan merata;
4.    Penciptaan kesempatan lapangan kerja baru baik di bidang produksi sekunder yang berhubungan dengan pertanian maupun jenis industri perdesaan lainnya; dan
5.    Memperlambat laju migrasi desa-kota.

Kebijaksanaan yang mempromosikan pertumbuhan pusat-pusat kegiatan perdesaan akan efektif apabila dipacu dengan pertumbuhan dan pembenahan prasarana dan sarana sosial dan ekonomi yang mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah. Pedesaan sebagai hirarkhi bertingkat tiga yaitu sebagai pusat pelayanan desa (village service centres), merupakan titik tolak dari perencanaan suatu kegiatan dalam konteks pembangunan wilayah atau program pembangunan perdesaan terpadu.
Perencanaan pengembangan wilayah pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari program pembangunan yang berupaya meningkatkan pemanfaatan sumberdaya agar lebih bermanfaat untuk mendukung kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam perkembangannya suatu wilayah secara struktur sosial dan ekonominya akan ditentukan oleh potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan aspek kelembagaan terutama menyangkut teknologi, kesiapan aparat, dan sumber pendanaan (Sugandy, 1987). Interaksi di antara komponen tersebut pada gilirannya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu wilayah. Pemahaman terhadap potensi yang sebenarnya ada pada suatu wilayah sangat diperlukan agar interaksi yang terjadi adalah interaksi yang seimbang dan pertumbuhan wilayah tersebut benar-benar berbasis dari potensi wilayahnya senidiri. Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah desa-desa perbatasan agar dapat serasi dengan kondisi desa perlu dilihat potensi desa yang ada.
Potensi desa adalah sumber-sumber alami dan sumber-sumber manusiawi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup masyarakat desa setempat. Potensi desa tersebut dapat dibedakan dalam potensi fisik dan non fisik (Bintarto, 1983). Untuk memudahkan identifikasi potensi menurut Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, Dirjen Cipta Karya DPU 1990, maka potensi wilayah dapat dikelompokkan menjadi:
1.    Potensi sumberdaya alam yang berupa lahan yang subur, hasil hutan, pertambangan dan energi, dsb;
2. Potensi sumberdaya manusia berupa tenaga kerja, keahlian, partisipasi, kekayaan, serta kelembagaan sosial; dan
3.  Potensi ruang yang dapat berupa letak daerah yang strategis. Dalam operasional di lapangan, komponen potensi tersebut dapat berkembang sesuai dengan tujuan kegiatan perencanaan.

Potensi desa tidak sama, karena lingkungan geografi dan keadaan penduduknya berbeda, luas tanah, macam tanah, dan tingkat kesuburan tanah yang tidak sama. Sumber air dan tata air yang berbeda menyebabkan cara penyesuaian atau corak kehidupan yang berbeda. Dalam hal ini maju mundurnya desa dapat tergantung pada beberapa faktor antara lain:
1. Potensi desa yang mencakup potensi sumberdaya alam, potensi penduduk warga desa beserta pamongnya;
2.  Interaksi antara desa dengan kota, antara desa dengan desa, tercakup di dalamnya perkembangan fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dan infrastrukturnya; dan
3.    Lokasi desa terhadap daerah-daerah di sekitarnya.

Perbedaan potensi desa akan mempengaruhi tingkat perkembangan suatu daerah. Untuk melakukan penilaian terhadap tingkat perkembangan desa dapat dilakukan dengan melakukan analisis sumberdaya wilayah melalui analisis inter dan intra regional. Analisis inter regional yaitu dengan membandingkan perkembangan dari setiap sub wilayah dilihat dari aspek sumberdaya, karakteristik sosial dan ekonomi atau perbandingan komponen wilayah dari daerah perencanaan. Untuk menilai tingkat perkembangan wilayah dapat dinyatakan dalam bentuk indeks yang disebut sebagai indeks tingkat perkembangan wilayah. Indeks ini digunakan untuk mengukur perbedaan tingkat atau derajad perkembangan wilayah berbasis pada sosial dan ekonomi wilayah. Teknik perhitungan indeks terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
1.    Menentukan variabel dan indikator sosial-ekonomi beserta parameter masing-masing;
2.    Mengumpulkan dan mengisi data ke dalam tabel;
3.    Pemberian bobot;
4.    Menghitung indeks perkembangan setiap unit wilayah perencanaan; dan
5.    Interpretasi hasil berdasar nilai total indeks.

Kebanyakan di Negara Sedang Berkembang/NSB (developing countries), jurang pemisah pertumbuhan dapat dilihat di antara kemajuan sosial dan ekonomi pusat-pusat perkotaan yang relatif maju dengan daerah-daerah perdesaan atau pedalaman dan sekaligus perbatasan yang kurang maju. Salah satu sebabnya adalah tidak adanya fasilitas-fasilitas dan jasa di daerah tersebut. Apabila ada, tidak terdistribusi secara merata dan masih berada di bawah daya layannya (IDAP, 1985).
Pelayanan ekonomi dalam hubungannya dengan perencanaan pengembangan wilayah perdesaan dapat dibagi atas pelayanan pendukung pertanian dan pelayanan lainnya yang berhubungan dengan fungsi pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Sektor pertanian mencakup sub sektor pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, dan peternakan. Sedangkan yang dimaksud dengan pelayanan-pelayanan pendukung pertanian adalah berbagai pelayanan pertanian terhadap pertanian itu sendiri, yang meliputi penelitian, penyuluhan, dan distribusi input.
Dalam dasawarsa terakhir ini strategi yang dikumandangkan PBB dan Bank Dunia dalam bidang pembangunan khususnya perdesaan difokuskan pada tekat untuk memerangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan pertumbuhan antara desa dan kota. Dalam pernyataannya Bank Dunia (1985) mengungkapkan bahwa pembangunan perdesaan diartikan ”...a strategy designed to improve the economic and social life of the rural poor”. Hal ini mengandung pengertian bahwa aspek sosial dan ekonomi yang menyangkut peningkatan pendapatan masyarakat desa lebih diutamakan daripada aspek fisik lingkungan binaan perdesaan, selain itu upaya ini lebih ditekankan pada proses perubahan yang berkesinambungan. Strategi di atas dijabarkan dalam empat aspek utama yaitu:
1.    Pendayagunaan potensi sumberdaya alam;
2. Penciptaan dan diversivikasi lapangan pekerjaan baru, khususnya sektor non pertanian, untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketimpangan;
3. Peningkatan kwalitas sumberdaya manusia melalui jalur pendidikan dan ketrampilan formal maupun informal; dan
4.   Pendayagunaan infrastruktur kelembagaan perdesaan.

Upaya ini harus diikuti dengan penyediaan infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi beserta pemerataan dan penyebarannya, sehingga mampu meningkatkan aksesibilitas daerah perdesaan terhadap pusat-pusat pembangunan sekaligus mengatasi keterasingan untuk sebagian wilayah perbatasan.


Sumber : Pengembangan Wilayah Perbatasan Sebagai Upaya Pemerataan Pembangunan Wilayah di Indonesia (Aziz Budianta)

Penatagunaan Tanah

Written By Tasrif Landoala on Jumat, 27 September 2013 | 07.49



Dalam UU No.24/1992 dinyatakan bahwa Ruang Wilayah Negara Indonesia sebagai wadah atau tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan kegiatannya. Ruang wilayah negara, khususnya ruang daratan sebagai suatu sumber daya alam dari berbagai subsistem ruang wilayah negara dalam pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang meliputi aspek poleksosbudhankam dan kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya di setiap wilayah, dalam implementasinya akan sangat terkait keberadaannya dengan penatagunaan tanah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan ketentuan dalam UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertuang dalam PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Secara garis besar PP ini memuat ketentuan yang mengatur implementasi RTRW di atas ruang daratan dalam hal ini tanah, terutama yang terkait aspek pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam PP tersebut diatur mengenai kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan tanah. Kebijakan penatagunaan tanah yang merupakan bagian terpenting dari penataan ruang bertujuan untuk mengatur dan mewujudkan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) untuk berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan sesuai dengan RTRW dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat.
Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap seluruh bidang tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di Kawasan Lindung mapun Kawasan Budidaya. Dalam rangka menjamin kepastian hukum atas tanah, PP Penatagunaan Tanah menegaskan bahwa penetapan RTRW tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah, dalam hal ini hak atas tanah tetap diakui. Namun demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah, yang dimaksudkan agar tanah tersebut digunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan daya dukungnya, tidak dibiarkan terlantar serta diwajibkan untuk memelihara dan mencegah kerusakan tanah tersebut. Kebijakan penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung dan budidaya. Dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah, dilaksanakan kegiatan sebagai berikut :
1.    Inventarisasi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
2.  Penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;
3.    Penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rtrw.

Penentuan kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW didasarkan atas pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang kemudian dijabarkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Pelaksanaan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan RTRW dapat dilakukan melalui :
a.    Penataan kembali (konsolidasi tanah, relokasi, tukar menukar, dan peremajaan kota),
b.    Upaya kemitraan,
c.  Penyerahan dan pelepasan hak atas tanah kepada negara/pihak lain dengan penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Salah satu upaya penatagunaan tanah seperti disebutkan di atas adalah melalui Konsolidasi Tanah yang juga telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan BPN No. 4 tahun 1992. Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar sesuai dengan RTRW, serta usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam, dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan. Tujuannya adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah dengan sasaran untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur, dalam arti untuk pengembangan kawasan baru maupun pembangunan kawasan kota (urban renewal). Khusus untuk kawasan perumahan dan permukiman, konsolidasi tanah dapat memenuhi kebutuhan akan adanya :
a.    Lingkungan permukiman yang teratur, tertib, dan sehat,
b.  Kesempatan kepada pemilik tanah untuk menikmati secara langsung keuntungan konsolidasi tanah, baik kenaikan harga tanah maupun kenikmatan lainnya karena terciptanya lingkungan yang teratur,
c.    Terhindar ekses-ekses yang sering timbul dalampenyediaan tanah secara konvensional,
d.   Percepatan laju pembangunan wilayah permukiman,
e.  Tertib administrasi pertanahan serta menghemat pengeluaran dana pemerintah untuk biaya pembangunan prasarana, fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional.

Pada awalnya konsolidasi tanah dilakukan di daerah pinggiran kota. Dalam perkembangannya, konsolidasi tanah juga dapat diadaptasikan pada bagian wilayah kota yang lain untuk mendukung pengaturan persil tanah di perkotaan. Beberapa wilayah yang potensi untuk dikonsolidasi antara lain :
1.    Wilayah yang direncanakan menjadi kota/permukiman baru (Kasiba/Lisiba);
2.    Wilayah yang sudah mulai tumbuh;
3.    Wilayah permukiman yang tumbuh pesat;
4.    Wilayah bagian pinggir kota yang telah ada atau direncanakan jalan penghubung;
5.    Wilayah yang relatif kosong;
6.    Wilayah yang belum teratur/kumuh;
7.    Wilayah yang perlu renovasi/rekonstruksi karena kebakaran/bencana, dan lain-lain.

Sumber : Budiman Arif

Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Kaitannya dengan Penataan Ruang



Tujuan pembangunan perumahan dan permukiman adalah menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman yang mengacu pada suatu kerangka penataan ruang wilayah, sehingga dapat berlangsung tertib, terorganisasi dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tujuan ini tidak akan tercapai bila tidak dilakukan perubahan dalam pengelolaan tanah (pendaftaran, sertifikasi, pembebasan tanah, ganti rugi, pemberian hak atas tanah).
Sasaran dari rencana pembangunan perumahan dan permukiman antara lain :
1.    Tersedianya rencana pembangunan perumahan dan permukiman di daerah yang aspiratif dan akomodatif, yang dapat diacu bersama oleh pelaku dan penyelenggara pembangunan, yang dituangkan dalam suatu Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D);
2.  Tersedianya skenario pembangunan perumahan dan permukiman yang memungkinkan terselenggaranya pembangunan secara tertib dan terorganisasi, serta terbuka peluang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam seluruh prosesnya;
3. Terakomodasinya kebutuhan akan perumahan dan permukiman yang dijamin oleh kepastian hukum, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah;
4.   Tersedianya informasi pembangunan perumahan dan permukiman di daerah sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijaksanaan pemerintah serta bagi berbagai pihak yang akan terlibat/melibatkan diri.

Kaitan antara pembangunan perumahan dan permukiman dengan penataan ruang adalah sebagai berikut :
1.   Rencana Tata Ruang Wilayah - sebagai hasil perencanaan tata ruang – merupakan landasan pembangunan sektoral. Dengan kata lain setiap pembangunan sektoral yang berbasis ruang perlu mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terjadi sinergi dan efisiensi pembangunan, sekaligus menghindari kemungkinan terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor yang berkepentingan dan dampak merugikan pada masyarakat luas.
2. Dalam RUTR Kawasan Perkotaan diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan, dan efisiensi agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni.
3.  Untuk Kawasan Perkotaan, alokasi ruang untuk perumahan dan permukiman merupakan yang terbesar dibandingkan dengan alokasi penggunaan lainnya. Lingkup pembangunan perumahan dan permukiman senantiasa mencakup aspek penataan ruang dan aspek penyediaan prasarana dan sarana lingkungan.
4.  Dalam mendukung pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta mewujudkan visi dan misi pembangunan perumahan dan permukiman yang tertuang dalam KSNPP (Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman), maka telah disiapkan Pedoman Penyusunan RP4D. RP4D pada dasarnya merupakan alat operasional untuk mewujudkan kebijakan dan strategi perumahan dan permukiman tersebut.


Sumber : Budiman Arif
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger