Anda Pengunjung ke

Diberdayakan oleh Blogger.
Latest Post

Pendekatan Penyelenggaraan Perumahan dan Permukiman

Written By Tasrif Landoala on Jumat, 06 Desember 2013 | 06.05



Untuk mencapai Visi yang diharapkan dan menjalankan Misi yang diemban, penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilaksanakan sebagai satu kesatuan sistem, yang pelaksanaannya dapat dengan memanfaatkan berbagai pendekatan yang relevan secara efektif, dan yang implementasinya agar dapat disesuaikan berdasarkan kondisi lokal yang ada, yaitu:

A.  Pembangunan yang Berkelanjutan dan Konsep TRIDAYA
Penyelenggaraan perumahan dan permukiman dilaksanakan dengan mengutamakan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan yang responsif namun secara komprehensif sekaligus dapat mengakomodasikan dalam satu kesatuan sistem dengan pencapaian tujuan pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Secara praksis, konsep TRIDAYA, yang sudah berkembang sebagai azas pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman, yaitu yang secara prinsip bertujuan memberdayakan komponen sosial masyarakat, usaha dan ekonomi, serta lingkungan, tetap dapat ditumbuhkembangkan sebagai pendekatan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan di tingkat lokal. Pendekatan ini dilakukan dengan memadukan kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat, serta kegiatan pemberdayaan kegiatan usaha ekonomi komunitas dengan kegiatan pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan.
Pembangunan perumahan dan permukiman, yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan baik di perkotaan maupun di perdesaan, merupakan kegiatan yang bersifat menerus. Karenanya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman harus senantiasa memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta dampak akibat pembangunan tersebut. Dukungan sumber daya yang memadai, baik yang utama maupun penunjang diperlukan agar pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan, disamping dampak pembangunan perumahan dan permukiman terhadap kelestarian lingkungan serta keseimbangan daya dukung lingkungannya yang harus senantiasa dipertimbangkan. Kesadaran tersebut harus dimulai sejak tahap perencanaan dan perancangan, pembangunan, sampai dengan tahap pengelolaan dan pengembangannya, agar arah perkembangannya tetap selaras dengan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dalam kerangka itu penyelenggaraan perumahan dan permukiman ingin menggarisbawahi bahwa permasalahannya selain menyangkut fisik perumahan dan permukiman juga terkait dengan penataan ruang. Di dalamnya termasuk pengadaan prasarana dan sarana lingkungan, serta utilitas umum untuk menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini diperlukan agar dapat mendorong terwujudnya keseimbangan antara pembangunan di perkotaan dan perdesaan, serta perkembangan yang terjadi dapat tumbuh secara selaras dan saling mendukung. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan perkembangan ruang-ruang permukiman responsif yang ada akan dapat ikut mengendalikan terjadinya migrasi penduduk. Oleh karenanya, ke depan diperlukan pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan perumahan dan permukiman yang kontributif terhadap pencapaian penataan ruang yang disusun secara transparan dan partisipatif serta memberdayakan masyarakat sebagai pelaku utama. Dengan demikian diharapkan akan terwujud permukiman yang dapat mendukung perikehidupan dan penghidupan penghuninya, baik di kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, maupun kawasan-kawasan tertentu lainnya.

B.  Penyelenggaraan Secara Multisektoral dan Terdesentralisasi
Pembangunan perumahan dan permukiman mencakup banyak kegiatan, antara lain pengalokasian ruang, penyediaan lahan, kelembagaan, kegiatan teknisteknologis, pembiayaan, dan sistem informasi. Disamping secara holistik, penyelenggaraan perumahan dan permukiman harus dilakukan secara multisektoral karena memerlukan koordinasi dengan berbagai bidang lain yang terkait dengan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman dan tidak dapat ditangani oleh satu sektor saja.
Persoalan penyediaan perumahan sebenarnya lebih merupakan masalah lokal dan kebutuhan individual. Ini dapat ditunjukkan dengan besarnya peran swadaya masyarakat di dalam pengadaan perumahannya. Karenanya perlu pembatasan campur tangan pemerintah dalam penanganan persoalan lokal melalui penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang terdesentralisasi. Dalam kerangka desentralisasi, penyelenggaraan perumahan dan permukiman tidak dapat terlepas dari agenda pelaksanaan tata pemerintahan yang baik di tingkat lokal, yaitu yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, kesetaraan, daya tanggap, wawasan kedepan, pengawasan, penegakan hukum, serta efisiensi dan efektivitas.

C.  Pembangunan yang Berwawasan Kesehatan
Sebagaimana disadari bahwa persoalan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman sangat mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat yang menghuninya. Selain secara fisik perumahan harus memenuhi syarat rumah sehat (kesehatan), perilaku hidup sehat dari masyarakat sangat penting dan strategis untuk terus didorong dan ditumbuhkembangkan dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman. Disamping itu aktualisasi pembangunan yang berwawasan kesehatan sangat diperlukan dalam upaya penanganan permukiman kumuh, dan pencegahan terjadinya lingkungan yang tidak sehat serta menghambat penciptaan lingkungan permukiman yang responsif. Aktualisasi tersebut tetap dalam kerangka pelaksanaan program lingkungan sehat sebagai bagian dari program pembangunan yang berwawasan kesehatan, yang bertujuan khususnya untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat mendukung tumbuh kembangnya anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup sehat, dan memungkinkan interaksi sosial serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan, sehingga dapat tercapai derajat kesehatan baik individu, keluarga maupun masyarakat yang optimal.

D. Penyelenggaraan dengan Pengembangan Sistem Insentif
Persoalan perumahan dan permukiman merupakan persoalan strategis yang masih belum mendapatkan cukup perhatian dari berbagai kalangan. Karenanya untuk memacu laju pembangunan perumahan dan permukiman, perlu di dalam penyelenggaraannya dikembangkan sistem insentif, yang diharapkan mampu mendorong berbagai pelaku pembangunan baik lembaga formal maupun informal untuk terlibat secara aktif. Upaya yang dikembangkan antara lain melalui kegiatan program stimulan, perintisan, dukungan pembiayaan dan bantuan teknis bagi pelaku pembangunan yang responsif di dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman, termasuk kegiatan pendampingan dalam penyiapan dan pemberdayaan masyarakat.

Teori Regenerasi Kota dalam Pengembangan Wilayah dan Kota

Written By Tasrif Landoala on Minggu, 01 Desember 2013 | 23.51



Regenerasi kota merupakan suatu proses atau siklus mulai dari pertumbuhan (growth), penurunan (decline), perbaikan (recovery) dan berlanjut (sustainable), demikian kompleksnya proses ini, terutama memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar agar dapat terjadi regenerasi tersebut (Berry Ed, 1993). Memang, perjalanan sejarah kota-kota di dunia tidak terlepas dari kemajuan dan kemunduran, tergantung pada keberadaan elemen-elemen pembentuk dan pemberi arah perkembangan kotanya. Kota yang direncanakan, cenderung lebih berkembang dibanding kota dadakan yang muncul karena suatu kegiatan tertentu, seperti kegiatan pertambangan dan usaha-usaha lain. Sedikit kota yang mempunyai kebudayaan yang tinggi senantiasa dimulai dengan sebuah rencana. Perencanaan kota yang baik merupakan unsur pokok yang bisa menentukan keberlanjutannya.
Kemunduran kota-kota dapat disebabkan oleh konflik, jumlah penduduk merosot, lapangan kerja kurang, habisnya sumber daya yang menjadi andalan di kota tersebut dan perkembangan terhenti. Banyak kota di Amerika Serikat yang mengalami kemunduran, seperti Kota Pullman yang terkenal dengan kota perusahaannya, yang dibangun untuk menampung pekerja-pekerja Pullman Car Company (Gallion, 1994). Namun, karena perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan, kota ini akhirnya ditinggalkan dan mengalami kemunduran. Demikian juga kota-kota tambang yang ditinggalkan seiring berhentinya kegiatan pertambangan di kota itu.
Hal tersebut menyadarkan Pemerintah Federal AS, dimulailah program pembaharuan dan pengelolaan kemunduran kota, seperti yang dilakukan oleh Presiden Nixon. Program ini merupakan suatu hal yang relatif baru bagi perencana kota pada saat itu. Banyak kota di wilayah Snowbelt dan Rustbelt, yang kebanyakan bekas kota industri berat yang ketinggalan zaman dan daerah-daerah yang menderita karena iklim yang tidak ramah dan gejolak-gejolak kecenderungan ekonomi, mengakibatkan kota-kota tersebut mengalami kemunduran (Catanese, 1996).
Kota-kota tambang juga banyak mengalami hal demikian, seperti Kota Rhondda Valley di Wales dan Kota Nova Scotia di Kanada, namun kemunduran belum tentu berarti kehancuran, karena beberapa kota dapat bangkit kembali dan memperbaiki taraf hidupnya, meskipun dengan jumlah penduduk sedikit. Cara yang ditempuh adalah melakukan pemeliharaan terhadap apa-apa yang baik di kota tersebut, sambil mendorong dilakukannya perubahan dan pembaharuan pada apa-apa yang nampaknya tidak bisa digunakan lagi. Pada hakekatnya hal ini berarti, bahwa para perencana tidak bisa lagi mengandalkan prinsip-prinsip dan standar-standar yang diperoleh dari pengalaman, selama pertumbuhan tidak terbatas. Saat ini, para perencana harus menggunakan berbagai metoda untuk meningkatkan mutu kota-kota, sambil mengatasi kemundurannya. Jadi inti dari kemajuan dan mengatasi masalah perkotaan adalah perencanaan yang komprehensif dan berkelanjutan.
Kecenderungan perencanaan kota di Amerika Serikat mengalami evolusi seiring dengan perkembangan peradabannya, hal-hal pokok perencanaan kotanya adalah:
a.    Kemitraan antara pemerintah dan swasta,
b.   Pengendalian pertumbuhan dan pengelolaan kemunduran,
c.    Pelestarian peninggalan sejarah dan pemakaian kembali yang disesuaikan,
d.   Perencanaan daerah lingkungan (neighborhood planning),
e.    Meningkatkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur,
f.     Pengaturan keuangan secara ketat,
g.   Pemanfaatan teknologi.

Pada umumnya regenerasi kota-kota di negara-negara Eropa dan Amerika adalah suatu proyek atas inisiatif pemerintah. Tujuan dari regenerasi kotanya tidak lain adalah:
a.  Keadilan sosial, yang berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat yang kekurangan tidak merasa dirugikan dengan adanya perubahan yang terjadi,
b.Keseimbangan alam, yaitu berkaitan dengan kemampuan mempertahankan keanekaragaman ekologi, dan
c. Meminimalisasi buangan, yang berkaitan dengan konservasi bangunan-bangunan tua yang mampu memberikan nilai ekonomis (Falk dalam Berry Ed, 1993).

Konsep Pengembangan Ruang Terpadu



Pendekatan terpadu (integrated) merupakan jalan tengah antara pendekatan sentralisasi yang menekankan pertumbuhan di wilayah pusat kota (kota utama) dan desentralisasi yang menekankan pada penyebaran investasi pada wilayah belakang (perdesaan).
Pendekatan ini bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi disertai pemerataan yang dilaksanakan berdasarkan pertumbuhan berimbang. Argumen mengenai pendekatan terpadu dalam lingkup spasial dikemukakan oleh Rondinelli untuk mencari alternatif strategi pendekatan pengembangan dengan tujuan menyebarkan dan mendorong pertumbuhan wilayah belakang dan membawa wilayah tersebut untuk ikut berpartisipasi secara efektif dalam proses pembangunan (Rondinelli, 1985).
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan wilayah secara merata ini, ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
a. Strategi harus diarahkan untuk mengintegrasikan seluruh sistem ekonomi dengan memberikan akses seluas-luasnya bagi pertumbuhan perkonomian wilayah. Tujuannya agar secara langsung dapat meningkatkan produktifitasnya, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk wilayah belakang.
b. Investasi yang cenderung dipusatkan di kota utama harus didesentralisasikan ke wilayah-wilayah yang mampu berfungsi sebagai pusat-pusat fasilitas pelayanan, pemasaran, distribusi dan transformasi bagi penduduk sekitarnya. Ini dimaksusdkan agar wilayah perdesaan memiliki akses seluas-luasnya bagi usaha pengembangannya. Dengan demikian wilayah perkotaan dan perdesaan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang terintegrasi,
c.    Dalam kerangka tata ruang regional, permukiman ditempatkan dalam suatu sistem yang secara fungsional saling berkaitan dan terintegrasi. Sistem tersebut pada prinsipnya merupakan sistem pusat-pusat pelayanan yang disusun secara hierarkhis berdasarkan karakteristik fungsi dan peranan permukimannya. Fungsi dan peran permukimannya ditentukan berdasarkan kegiatan pelayanan dan lingkup pelayanannya.

Struktur Kota dan Sistem Pergerakannya



Struktur kota merupakan gambaran dari distribusi tata guna lahan dan sistem jaringan. Penjabaran struktur kota membentuk pola kota yang menginformasikan antara lain kesesuaian lahan, kependudukan, guna lahan, sistem transportasi, dan sebagainya, dimana kesemuanya saling berkaitan satu sama lain. Pola kota yang merupakan ilustrasi dari struktur ruang kota secara tak langsung dapat menunjukkan arah perkembangan kota yang pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh tata guna lahan.


Adanya proses pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di tempat asal berada menyebabkan timbulnya pergerakan atara dua atau lebih lokasi guna lahan yang berbeda pada suatu kawasan perkotaan. Bourne (1971) menyatakan bahwa pola guna lahan di daerah perkotaan mempunyai hubungan yang erat dengan pola pergerakan penduduk. Setiap bidang tanah yang digunakan untuk kegiatan tertentu akan menunjukkan potensinya sebagai pembangkit atau penarik pergerakan. Dapat disimpulkan bahwa pola guna lahan akan mempengaruhi pola pergerakan dan jarak. Semakin rumit pola perkembangan kota maka akan semakin besar beban yang dimiliki kota tersebut, hal ini mengakibatkan sistem kota menjadi tidak efisien karena pola guna lahan dan pergerakan tidak terkendali serta jarak tempuh antar lokasi kegiatan tidak terukur.

1.    Pengaruh Guna Lahan Terhadap Pergerakan
Sistem transportasi perkotaan terdiri dari berbagai aktivitas yang berlangsung di atas sebidang tanah dengan tata guna lahan yang berbeda. Untuk memenuhi kebutuhannya manusia melakukan perjalanan diantara dua tata guna lahan tersebut dengan menggunakan sistem jaringan transportasi. Hal ini menimbulkan pergerakan arus manusia, kendaraan dan barang yang mengakibatkan berbagai macam interaksi. Hampir semua interaksi memerlukan perjalanan dan oleh sebab itu menghasilkan pergerakan arus lalu lintas (Tamin, 2000). 
Karakteristik dan intensitas penggunaan lahan akan mempengaruhi karakteristik pergerakan penduduk. Pembentuk pergerakan ini dibedakan atas pembangkit pergerakan dan penarik pergerakan. Perubahan guna lahan akan berpengaruh pada peningkatan bangkitan perjalanan yang akhirnya akan menimbulkan peningkatan kebutuhan prasarana dan sarana transportasi. Sedangkan besarnya tarikan pergerakan ditentukan oleh tujuan atau maksud perjalanan (Black, 1981). Dapat disimpulkan bahwa berbagai aktivitas akan memberi dampak pergerakan yang berbeda pada saat ini dan masa mendatang.

2.    Besaran dan Distribusi Pergerakan
Besaran perjalanan bergantung pada kegiatan kota, sedang penyebab perjalanan adalah adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak diperoleh di tempat asalnya. Bangkitan dan tarikan perjalanan bervariasi untuk setiap tipe tata guna lahan. Semakin tinggi tingkat penggunaan lahan akan semakin tinggi pergerakan yang dihasilkan (Tamin, 2000).
Sebaran pergerakan ini menunjukkan ke mana dan dari mana arus lalu lintas bergerak dalam suatu wilayah. Pola sebaran arus lalu lintas antara zona asal ke zona tujuan adalah hasil dari dua hal yang terjadi secara bersamaan, yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan yang akan menghasilkan arus lalu lintas dan pemisah ruang, serta interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan mengkasilkan pergerakan manusia dan/atau barang (Tamin, 2000).
Semakin tinggi intensitas suatu tata guna lahan, akan semakin tinggi pula tingkat kemampuannya dalam menarik lalu lintas, namun apabila jarak yang harus ditempuh semakin besar maka daya tarik suatu tata guna lahan akan berkurang. Siatem transportasi hanya dapat mengurangi hambatan pergerakan dalam ruang, tetapi tidak dapat mengurangi jarak. Oleh karena itu, jumlah pergerakan lalu lintas antara dua buah tata guna lahan bergantung dari intensitas kedua tata guna lahan dan pemisahan ruang (jarak, waktu, dan biaya) antara kedua zonanya. Sehingga arus lalu lintas antara dua buah tata guna lahan mempunyai korelasi positif dengan intensitas guna lahan dan korelasi negatif dengan jarak (Tamin, 2000).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Catatan Kuliah Geografi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger