Menurut Marbun (1992), kota merupakan
kawasan hunian dengan jumlah penduduk relatif besar, tempat kerja penduduk yang
intensitasnya tinggi serta merupakan tempat pelayanan umum. Kegiatan ekonomi
merupakan hal yang penting bagi suatu kota karena merupakan dasar agar kota
dapat bertahan dan berkembang (Jayadinata, 1992). Kedudukan aktifitas
ekonomi sangat penting sehingga seringkali menjadi basis perkembangan sebuah
kota. Adanya berbagai kegiatan ekonomi dalam suatu kawasan menjadi potensi
perkembangan kawasan tersebut pada masa berikutnya.
Istilah perkembangan kota (urban
development) dapat diartikan sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang
menyangkut segala perubahan di dalam masyarakat kota secara menyeluruh, baik
perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik (Hendarto,
1997).
Pertumbuhan dan perkembangan kota pada
prisipnya menggambarkan proses berkembangnya suatu kota. Pertumbuhan kota
mengacu pada pengertian secara kuantitas, yang dalam hal ini diindikasikan oleh
besaran faktor produksi yang dipergunakan oleh sistem ekonomi kota tersebut.
Semakin besar produksi berarti ada peningkatan permintaan yang meningkat.
Sedangkan perkembangan kota mengacu pada kualitas, yaitu proses menuju suatu
keadaan yang bersifat pematangan. Indikasi ini dapat dilihat pada struktur
kegiatan perekonomian dari primer kesekunder atau tersier. Secara umum kota
akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan melalui keterlibatan aktivitas
sumber daya manusia berupa peningkatan jumlah penduduk dan sumber daya alam
dalam kota yang bersangkutan (Hendarto, 1997).
Pada umumya terdapat tiga faktor utama
yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu:
a. Faktor penduduk, yaitu adanya
pertambahan penduduk baik disebabkan karena pertambahan alami maupun karena
migrasi.
b.
Faktor sosial ekonomi, yaitu
perkembangan kegiatan usaha masyarakat
c.
Faktor sosial budaya, yaitu adanya
perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar,
komunikasi dan sistem informasi.
Perkembangan suatu kota juga
dipengaruhi oleh perkembangan dan kebijakan ekonomi. Hal ini disebabkan karena
perkembangan kota pada dasarnya adalah wujud fisik perkembangan ekonomi
(Firman, 1996). Kegiatan sekunder dan tersier seperti manufaktur dan jasa-jasa
cenderung untuk berlokasi di kota-kota karena faktor urbanization economics
yang diartikan sebagai kekuatan yang mendorong kegiatan usaha untuk berlokasi
di kota sebagai pusat pasar, tenaga kerja ahli, dan sebagainya.
Perkembangan kota menurut Raharjo dalam
Widyaningsih (2001), bermakna perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada
aspek-aspek kehidupan dan penghidupan kota tersebut, dari tidak ada menjadi
ada, dari sedikit menjadi banyak, dari kecil menjadi besar, dari ketersediaan
lahan yang luas menjadi terbatas, dari penggunaan ruang yang sedikit menjadi
teraglomerasi secara luas, dan seterusnya.
Dikatakan oleh Beatley dan Manning
(1997) bahwa penyebab perkembangan suatu kota tidak disebabkan oleh satu hal
saja melainkan oleh berbagai hal yang saling berkaitan seperti hubungan antara
kekuatan politik dan pasar, kebutuhan politik, serta faktor-faktor sosial
budaya.
Teori Central
Place dan Urban Base
merupakan teori mengenai perkembangan kota yang paling populer dalam
menjelaskan perkembangan kota-kota. Menurut teori central place seperti
yang dikemukakan oleh Christaller (dalam Daldjoeni, 1992), suatu kota
berkembang sebagai akibat dari fungsinya dalam menyediakan barang dan jasa
untuk daerah sekitarnya. Teori Urban Base juga menganggap bahwa
perkembangan kota ditimbulkan dari fungsinya dalam menyediakan barang kepada
daerah sekitarnya juga seluruh daerah di luar batas-batas kota tersebut.
Menurut teori ini, perkembangan ekspor akan secara langsung mengembangkan
pendapatan kota. Disamping itu, hal tersebut akan menimbulkan pula
perkembangan industri-industri yang menyediakan bahan mentah dan jasa-jasa
untuk industri-industri yang memproduksi barang ekspor yang selanjutnya akan
mendorong pertambahan pendapatan kota lebih lanjut (Hendarto, 1997).