Kebijakan
sentralisasi pada masa lalu membuat ketergantungan daerah-daerah kepada pusat
semakin tinggi dan nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh
perangkat Pemerintah di daerah. Sementara itu dalam era desentralisasi,
partisipasi masyarakat dan azas keterbukaan cenderung untuk dijadikan pedoman
dengan asumsi bahwa pelaksanaan prinsip tersebut akan menghasilkan kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, terdapat rasa
memiliki masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan dan muncul komitmen
untuk melaksanakannya sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan.
Pada posisi
lain dengan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, telah memberikan
legitimasi untuk menyerahkan kewenangan dalam proses penyelenggaraan penataan
ruang kepada daerah. Konsekuensi dari kondisi tersebut antara lain adalah
memberikan kemungkinan banyaknya Kabupaten/Kota yang lebih memikirkan
kepentingannya sendiri, tanpa memikirkan sinergi dalam perencanaan tata ruang
dan pelaksanaan pembangunan dengan Kabupaten/Kota lainnya untuk sekedar
mengejar targetnya dalam lingkup kacamata masing-masing.
Untuk mensinergikan kepentingan masing-masing
Kabupaten/Kota diperlukan satu dokumen produk penataan ruang yang bisa
dijadikan pedoman untuk menangani berbagai masalah lokal, lintas wilayah, dan
yang mampu memperkecil kesenjangan antar wilayah yang disusun dengan
mengutamakan peran masyarakat secara intensif. Pada akhirnya, penataan ruang diharapkan dapat
mendorong pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan kualitas hidup
masyarakat (city as engine of economic
growth) yang berkeadilan sosial (social
justice) dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly sound) dan berkesinambungan (sustainability sound) melalui penataan ruang.