Sejak dimulainya era reformasi akhir
1997, pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten
atau Kota, ternyata semakin memperberat pembangunan di bidang lingkungan hidup.
Perubahan kewenangan kepemerintahan yang mensyaratkan kesiapan berbagai pihak
untuk dapat lebih meningkatkan kepemerintahan yang lebih baik, transparan, dan
demokratis tidak berjalan mulus.
Permasalahan pengelolaan lingkungan
hidup (PLH), justru semakin banyak menghadapi kendala, sehubungan dengan
semakin meningkatnya persepsi sebagian besar penentu kebijakan yang menganggap
bahwa sudah tiba saatnya bagi semua orang untuk bisa mengeksplorasi SDA
seluas-luasnya demi mendapatkan keuntungan dan manfaat (pendapatan asli
daerah/PAD) yang lebih besar dalam waktu singkat, tanpa memperhitungkan keberlanjutan
eksistensi SDA tersebut.
Dalam lingkungan alam: terdapat
empat komponen besar yang dalam jaringan kehidupan alamnya, yang saling
mempengaruhi:
1. Udara (atmosfir): isi udara
ini terpengaruh pembangunan, misalnya pencemaran udara, akhirnya kembali
mempengaruhi kualitas pembangunan itu sendiri. Udara sebagai wahana penyalur:
energi matahari, gelombang suara dan listrik, udara bersih dan kotor, dan sebagainya;
2. Air (hidrosfir): putaran tata
air (siklus hidrologi), sangat berpengaruh kepada alam;
3. Tanah dan mineral (geosfir):
terdiri dari berbagai macam bahan hasil proses alamiah, termasuk berbagai macam
mineral; dan
4. Flora, Fauna dan mikroba (biomassa):
sumber kehidupan biomassa, isinya beraneka-ragam, maka sistem lingkungan
alam dalam keanekaragaman hayati (biodiversity) ini akan semakin stabil
karena kekayaan keanekaragamannya (heterogenitas).
Namun demikian, teori tentang
menjaga keseimbangan antara unsur alam dengan unsur binaan, tidak
sungguh-sungguh diterapkan, sehingga beberapa permasalahan klasik masih ada,
bahkan semakin meluas dan kompleks, yang diuraikan sebagai berikut:
1. Sebagai negara agraris (berbasis pertanian)
dan (pernah) sebagai penghasil utama beras, lingkungan kota telah menghadapi
tekanan transformasi lahan, khususnya lahan subur di ’pinggiran/perbatasan’
kota, untuk kegiatan non pertanian. Tekanan terutama dari sektor industri yang
penting bagi penyerapan tenaga kerja. Dengan sendirinya membutuhkan areal
permukiman yang semakin luas pula. Keberadaan pertanian perkotaan di dalam
lingkungan kota sebagai komponen utama RTH kota juga semakin tergusur.
2. Sumber energi utama skala nasional,
ternyata masih bertumpu pada kayu bakar, terutama bagi masyarakat yang saat ini
(sekitar 60 persen) hidup di perdesaan, yang mengancam kelestarian kawasan
hutan, di samping maraknya penebangan kayu ilegal, dan kebakaran hutan.
3. Sedang sektor modern di perkotaan
butuh energi yang terkonsentrasi dalam jumlah sangat besar, hingga pernah
timbul pemikiran penggunaan tenaga nuklir sebagai peningkatan teknologi
penyediaan energi. Pembangunan yang berbasis hemat energi, pemakaian energi
terbarukan, dan ramah lingkungan, harus segera dilakukan di segala lini.
Kebutuhan akan pangan dan energi kayu bakar menyebabkan tekanan pada sumber
daya alam, hutan, tanah, air, dan udara.
Maka PLH kota, memerlukan:
1. Rasionalisasi penggunaan SDA,
melalui upaya minimalisasi kerusakan ekosistem, misalnya upaya perlindungan
ekosistem, penggalakan pemanfaatan ulang dari sumber daya, yang biasa disebut:
7-RE yaitu serba daur-ulang dalam berbagai kegiatan dalam menggunakan bahan, yaitu:
pemanfaatan ulang (reuse), mengurangi (reduce), mengganti (replace),
mendesain (redesign), memfabrikasi (refactory), memperbaiki (recovery),
dan mendaur ulang sumber daya (recycle) yang tersedia di lingkungan
sekitar;
2. Meningkatkan produksi pangan dengan
pola pertanian se-efisien mungkin, serba hemat akan: ruang (lahan) dan SDA
(air, lahan, dan hutan beserta isinya), serta peningkatan kualitas dan
kuantitas keaneka-ragaman pangan;
3. Mengusahakan penggunaan alternatif
sumber energi kayu bakar, misal, briket arang dari sampah, tenaga matahari,
tenaga angin dan bio-fuel.
Sedang pola perencanaan pemanfaatan
ruang di luar Jawa, hendaknya dapat dikembangkan dengan sistem variabel
lingkungan, yaitu melalui identifikasi potensi, mengkaitkan variabel lingkungan
dalam proses perencanaannya, dan memperkirakan dampak positif maupun negatif.
Sebenarnya, struktur perekonomian
tahun 1980-an dan sebelumnya, telah menitik-beratkan pada pentingnya pembangunan
pertanian, khususnya pangan. Namun sehubungan dengan keyakinan akan ampuhnya
sektor perindustrian, yang diterapkan tanpa mempertimbangkan keseimbangan
pembangunan dengan sektor pendukung lain, maka pada akhir tahun 1997/awal tahun
1998, terjadilah krisis perekonomian yang memperburuk kondisi lingkungan
Indonesia, dan yang hingga kini masih belum teratasi. Pemanfaatan SDA dan ruang
secara rasional, lalu menerapkan kebijakan dan perimbangan pembangunan lebih ke
arah sektor industri dan jasa yang seharusnya tetap berdasar pada pemilihan
teknologi ramah lingkungan. Kebijakan pembangunan berkelanjutan yang menekan
dampak negatif pencemaran sekecil mungkin, dan pertimbangan pada konsistensi
perencanaan, penerapan dan evaluasi ‘Tata Ruang Terpadu’ di kalangan
pemerintahan pusat dan daerah-daerah hendaknya terus diterapkan. Setelah
penerapan pembangunan yang lebih mengarah pada jasa konstruksi dan pelayanan
masyarakat, menimbulkan hal-hal berikut:
1. Urbanisasi meningkat dimana-mana dan
konsentrasi penduduk akibat proses industrialisasi melahirkan kota-kota baru
yang seolah tak terencana. Padahal perkembangan perkotaan seharusnya seirama
dengan kebutuhan dan pertumbuhannya pun harus direncanakan secara tepat demi
tetap tercapainya kenyamanan hidup dalam lingkungan yang sehat, misalnya
terbentuknya keseimbangan antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional,
baik di wilayah perkotaan, perdesaan maupun pada daerah pendukung. Demi
efisiensi ruang, pembangunan permukiman dan prasarana fisik diarahkan vertikal
(rumah susun, jalan layang, optimalnya transportasi umum dalam berbagai moda);
2. Sebagai negara kepulauan di mana
tiga per empat wilayahnya berupa perairan, maka sudah saatnya bila sumber daya
kelautan dijajaki sebagai sumber kehidupan alternatif, terutama didasarkan pada
pertimbangan akan terbatasnya lahan (ruang) daratan, namun harus tetap
mempertimbangkan dan menerapkan sistem pemanfaatan yang rasional dan
bertanggung jawab;
3. Akibat tekanan berbagai kegiatan
pembangunan maka, media lingkungan (tanah, air, dan udara), untuk kelangsungan
kehidupan manusia itu sendiri, kualitas fungsinya akan menurun, bila proses
pemanfaatan SDA-nya tetap tidak/belum mempertimbangkan pemeliharaan demi
kelangsungan keberadaannya.
Tanaman dan hewan semakin langka,
baik jenis maupun jumlahnya antara lain akibat ruang hidup (habitat) yang
semakin menyempit, maka perlu direncanakan ‘kantong-kantong hidup’
sebagai habitat ’baru’ mereka, sehingga keberadaannya dapat dipertahankan
karena eksistensi manusia pun sangat tergantung pada biota lain. Dampak pembangunan akan mempengaruhi kualitas
lingkungan, karena itu harus selalu diperhitungkan, baik dampak positif
(ditingkatkan), atau dampak negatifnya (dikendalikan). Dampak dapat diukur dan
dikendalikan, antara lain menggunakan standar ambang batas, sebagai alat ukur,
baik dalam baku mutu lingkungan binaan, maupun baku mutu lingkungan alam.
Sebagai contoh, pencemaran yang terjadi dalam lingkungan binaan (negatif)
terwujud, misalnya dalam pencemaran terhadap badan sungai, daratan, lautan
ataupun udara, berakibat pada pergeseran tata nilai perubahan budaya dan
komponen lingkungan sosialnya.
SDA mendapat tekanan dari
pertambahan penduduk dan tingkat pendapatan yang selalu diusahakan semakin
tinggi. Hal ini berakibat akan memperluas dan memperbesar lingkungan binaan
yang ditentukan oleh kendala teknologi dan budaya dengan kemampuan substitusi
fungsi alam melalui hukum buatan manusia. Apabila teknologi dan budaya manusia tidak
sanggup lagi mensubtitusikan hukum alam, maka ruang lingkup alam akan semakin
menciut.
Oleh karena itu, perlu pelestarian
fungsi lingkungan alam, sebab teknologi dan budaya belum sepenuhnya mampu
menggantikan fungsi lingkungan alam dalam lingkungan binaannya. Usahakan
keseimbangan antara perkembangan lingkungan alam dan lingkungan binaan. Adanya
kendala perkembangan konsumsi terhadap SDA oleh etika kehidupan dalam menopang
pola hidup yang selaras antara kemajuan material dan spiritual, sebagai
pencerminan hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Jadi, orientasi pembangunan
seharusnya menyelaraskan kemajuan lingkungan sosial dengan lingkungan alam,
kemajuan material dan spiritual, tanpa merusak pola pembangunan berwawasan
lingkungan dan pertimbangan kependudukan. Pola pengelolaan kependudukan dan
lingkungan ini yang perlu disadari, diketahui, dan dilaksanakan oleh kita
semua.