Hierarki perkotaan
menggambarkan jenjang fungsi perkotaan sebagai akibat perbedaan jumlah, jenis, dan kualitas dari fasilitas yang tersedia
di kota tersebut. Atas dasar perbedaan
itu, volume dan keragaman pelayanan yang dapat diberikan setiap jenis fasilitas juga berbeda. Perbedaan fungsi ini umumnya
terkait langsung dengan perbedaan
besarnya kota (jumlah penduduk). Perbedaan fungsi ini juga sekaligus menggambarkan perbedaan luas pengaruh. Dengan demikian,
ada kota yang menjalankan banyak
fungsi sekaligus dengan kualitas pelayanan yang tinggi dan ada kota yang hanya menjalankan beberapa fungsi saja dengan
kualitas yang kurang memadai.
Sejalan dengan itu, ada kota yang wilayah pengaruhnya cukup luas bahkan juga termasuk kota-kota yang lebih kecil di sekitarnya
dan ada kota yang pengaruhnya hanya
beberapa desa di sekitamya saja. Hierarki perkotaan seringkali sudah tercipta secara alamiah (mekanisme pasar) tetapi
bisa juga dimodifikasi/diubah
sebagai akibat keputusan pemerintah. Misalnya, sebuah kota kecil yang diputuskan pemerintah menjadi ibukota kabupaten, secara
perlahan akan menaikkan hierarki
dari kota tersebut, apabila keputusan itu direspons oleh masyarakat/pasar. Hierarki perkotaan sangat perlu diperhatikan
dalam perencanaan wilayah karena
menyangkut fungsi yang ingin diarahkan mtuk
masing-masing kota. Terlaksananya fungsi itu berkaitan dengan fasilitas
kepentingan umum yang akan dibangun
di masing-masing kota. Banyaknya fasilitas yang harus tersedia di masing-masing kota harus sejalan dengan luas pengaruh
kota tersebut, atau jumlah penduduk
yang diperkirakan akan memanfaatkan fasilitas tersebut.
Dalam suatu wilayah, kota
orde tertinggi diberi peringkat ke-l. Penentuan orde (tingkat) sangat terkait dengan luas wilayah analisis. Bagi
Indonesia, Jakarta adalah kota orde ke-1.
Bagi Provinsi Sumatra Utara, Medan adalah kota orde ke-1 . Bagi sebuah kabupaten kemungkinan besar
ibukota kabupaten itu yang menjadi orde ke-l,
seandainya ibukota itu adalah kota terbesar di kabupaten tersebut. Untuk kepentingan perencanaan wilayah,
setiap kota di suatu wilayah harus ditetapkan ordenya. Orde ditetapkan berdasarkan kondisi riil di lapangan ataupun karena
adanya keinginan untuk mengubah orde suatu kota. Orde suatu kota bisa
diubah secara bertahap dengan
merencanakan penambahan berbagai fasilitas di kota tersebut, di mana masyarakat diperkirakan akan mau memanfaatkan
fasilitas tersebut
sebagaimanamestinya (direspons oleh pasar). Untuk menciptakan efisiensi dalam kehidupan masyarakat, kota-kota
di suatu wilayah perlu direncanakan ordenya.
Setelah orde ditetapkan dapat dibuat perencanaan fasilitas yang sesuai untuk masing-masing orde. Misalnya di
suatu kabupaten ditetapkan orde kota ada
4 tingkat, sedangkan pedesaan dinyatakan sebagai non orde. Maka untuk
fasilitas pendidikan, dapat dibuat aturan perencanaan. Misalnya pada daerah non
orde direncanakan ada SD, pada kota orde IV direncanakan ada SMP, beberapa SD
dan taman kanak-kanak; pada kota orde III, direncanakan ada SMA, beberapa SMP, lebih
banyak SD, dan lebih banyak taman kanak-kanak; pada kota orde II direncanakan
ada akademi (program diploma), beberapa SMA, lebih banyak SMP, lebih banyak SD,
dan lebih banyak taman kanak-kanak; pada kota orde I direncanakan ada Perguruan
Tinggi, ada akademi, lebih banyak SMA, lebih banyak SMP, lebih banyak SD, dan
lebih banyak taman kanak-kanak. Hal ini juga berlaku untuk fasilitas lain seperti
rumah sakit (berbagai tingkatan), fasilitas pasar (bertagai tingkatan), dan
fasilitas kebutuhan umum lainnya (air minum, listrik telepon dengan jumlah dan
jenis yang berbeda di setiap orde).
Penentuan jenis dan besarnya
fasilitas di masing-masing kota harus tepat. Apabila kekurangan akan merugikan
masyarakat sedangkan apabila berlebih, akan membuat investasi menjadi mubazir.
Ada pandangan kontroversial antara melihat dahulu pada masyarakat yang mebutuhkan,
baru membangun fasilitas atau membangun fasilitas terlebih dahulu, baru
mengharapkan masyarakat akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Apabila menunggu
dahulu kebutuhan (fasilitas akan digunakan secara penuh) baru fasilitasnya
dibangun, berarti masyarakat sudah dirugikan dan pertumbuhan ekonomi menjadi
lambat. Namun membangun fasilitas terlebih dahulu tanpa meperhitungkan
kemungkinan apakah masyarakat memanfaatkan fasilitas itu dalam waktu yang tidak
terlalu lama juga merugikan karena membuat investasi menjadi mubazir.
Masyarakat yang akan memanfaatkan fasilitas sangat terkait dengan perkembangan
jumlah penduduk. Perkembangan jumlah penduduk sangat terkait dengan daya tarik
subwilayah tersebut. Daya tarik suatu subwilayah sangat pengaruhi oleh
pertumbuhan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan lapangan kerja, yang berbeda antara
satu subwilayah dengan subwilayah lainnya. Pertumbuhan penduduk dapat juga
terjadi karena adanya pengembang yang membangun lokasi perumahan di wilayah
tersebut. Diperlukan pengamatan yang saksama utamanya tentang rencana investasi
para pengusaha dan pemerintah, untuk memperkirakan daya tarik suatu subwilayah
di masa yang akan datang.
Sumber: Perencanaan Pembangunan Wilayah (Tarigan,
R., 2009)