Dalam UU No.24/1992 dinyatakan bahwa Ruang Wilayah
Negara Indonesia sebagai wadah atau tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan
melakukan kegiatannya. Ruang wilayah negara, khususnya ruang daratan sebagai
suatu sumber daya alam dari berbagai subsistem ruang wilayah negara dalam pemanfaatan
untuk berbagai kegiatan yang meliputi aspek poleksosbudhankam dan kelembagaan
dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan lainnya di setiap
wilayah, dalam implementasinya akan sangat terkait keberadaannya dengan
penatagunaan tanah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 52 UU
No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan sejalan dengan
ketentuan dalam UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang, dikembangkan penatagunaan
tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang tertuang dalam PP No. 16/2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
Secara garis besar PP ini memuat ketentuan yang
mengatur implementasi RTRW di atas ruang daratan dalam hal ini tanah, terutama
yang terkait aspek pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dalam PP
tersebut diatur mengenai kebijakan penatagunaan tanah dan penyelenggaraan penatagunaan
tanah. Kebijakan penatagunaan tanah yang merupakan bagian terpenting dari
penataan ruang bertujuan untuk mengatur dan mewujudkan Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T) untuk berbagai kebutuhan kegiatan
pembangunan sesuai dengan RTRW dan mewujudkan tertib pertanahan dengan tetap
menjamin kepastian hukum atas tanah bagi masyarakat.
Kebijakan penatagunaan tanah diselenggarakan
terhadap seluruh bidang tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
baik di Kawasan Lindung mapun Kawasan Budidaya. Dalam rangka menjamin kepastian
hukum atas tanah, PP Penatagunaan Tanah menegaskan bahwa penetapan RTRW tidak mempengaruhi
status hubungan hukum atas tanah, dalam hal ini hak atas tanah tetap diakui.
Namun demikian, pemegang hak atas tanah diwajibkan untuk menggunakan dan
memanfaatkan tanah, yang dimaksudkan agar tanah tersebut digunakan dan
dimanfaatkan sesuai dengan daya dukungnya, tidak dibiarkan terlantar serta
diwajibkan untuk memelihara dan mencegah kerusakan tanah tersebut. Kebijakan
penatagunaan tanah meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah di
kawasan lindung dan budidaya. Dalam rangka penyelenggaraan penatagunaan tanah,
dilaksanakan kegiatan sebagai berikut :
1. Inventarisasi
penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah;
2. Penetapan
perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;
3. Penetapan
pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rtrw.
Penentuan kesesuaian
penggunaan tanah terhadap RTRW didasarkan atas pedoman, standar dan kriteria
teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang kemudian dijabarkan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Pelaksanaan
pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan RTRW
dapat dilakukan melalui :
a. Penataan
kembali (konsolidasi tanah, relokasi, tukar menukar, dan peremajaan kota),
b. Upaya
kemitraan,
c. Penyerahan
dan pelepasan hak atas tanah kepada negara/pihak lain dengan penggantian sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu upaya
penatagunaan tanah seperti disebutkan di atas adalah melalui Konsolidasi Tanah yang
juga telah diatur pelaksanaannya dalam Peraturan BPN No. 4 tahun 1992.
Konsolidasi tanah adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali
penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah agar sesuai dengan RTRW, serta
usaha-usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang bertujuan
meningkatkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam, dengan
melibatkan partisipasi masyarakat secara langsung, baik di kawasan perkotaan
maupun perdesaan. Tujuannya adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara
optimal, melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah
dengan sasaran untuk mewujudkan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah
yang tertib dan teratur, dalam arti untuk pengembangan kawasan baru maupun
pembangunan kawasan kota (urban renewal). Khusus untuk kawasan perumahan dan
permukiman, konsolidasi tanah dapat memenuhi kebutuhan akan adanya :
a. Lingkungan
permukiman yang teratur, tertib, dan sehat,
b. Kesempatan
kepada pemilik tanah untuk menikmati secara langsung keuntungan konsolidasi
tanah, baik kenaikan harga tanah maupun kenikmatan lainnya karena terciptanya
lingkungan yang teratur,
c. Terhindar
ekses-ekses yang sering timbul dalampenyediaan tanah secara konvensional,
d. Percepatan
laju pembangunan wilayah permukiman,
e. Tertib
administrasi pertanahan serta menghemat pengeluaran dana pemerintah untuk biaya
pembangunan prasarana, fasilitas umum, ganti rugi, dan operasional.
Pada awalnya
konsolidasi tanah dilakukan di daerah pinggiran kota. Dalam perkembangannya,
konsolidasi tanah juga dapat diadaptasikan pada bagian wilayah kota yang lain
untuk mendukung pengaturan persil tanah di perkotaan. Beberapa wilayah yang
potensi untuk dikonsolidasi antara lain :
1. Wilayah
yang direncanakan menjadi kota/permukiman baru (Kasiba/Lisiba);
2. Wilayah
yang sudah mulai tumbuh;
3. Wilayah
permukiman yang tumbuh pesat;
4. Wilayah
bagian pinggir kota yang telah ada atau direncanakan jalan penghubung;
5. Wilayah
yang relatif kosong;
6. Wilayah
yang belum teratur/kumuh;
7. Wilayah
yang perlu renovasi/rekonstruksi karena kebakaran/bencana, dan lain-lain.
Sumber
: Budiman Arif